Adalah sebuah kegelisahan yang radikal, menghantui imajinasi dan menerangi kegelapan sunyi dalam tiap-tiap diri keluarga nelayan yang hidup di nusantara. Terlahir dari keluarga nelayan bagiku adalah sebuah kesyukuran dan kenikmatan atas kehendak Allah yang maha pencipta dan maha pengasih.
Sekitar 10 tahun yang lalu, hari-hariku penuh dengan kesaksian atas birunya lautan indonesia, saat itu saya belum membayangkan bahwa ada laut yang telah berubah warnanya menjadi hitam seperti di sekitar Pantai Losari Makassar akibat reklamasi. Saya hanya mengenal Indonesia melalui peta kusam yang terdapat di sekolah dan melalui lagu Indonesia raya saat itu, yang masih setia diindoktrinasi ke dalam setiap individu yang menjalani pendidikan formal. Tanpa menempuh cara yang relevan mencapai pemahaman sejarah yang dalam.
Hampir setiap hari seperdua dari tubuhku bersetubuh dengan lautan. Ditemani baskom, alat pancing dan umpan berupa caing-cacing beserta ‘kelomang’. Ketinggian air dari pusar hingga dada adalah batas kedalaman air, kami berdiri menggantungkan harapan untuk mendapatkan ikan-ikan. Akhirnya saat itu kami masih mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yang siap untuk dibakar dan digoreng oleh Ibu. Meskipun ia sedikit khawatir kepada anaknya, atas gelombang dan arus laut. Namun itu dulu, kini ikan-ikan itu sulit kita dapatkan. Masyarakat lebih sering memakan mie, telur, sayur, dan lain-lain, dari luar Pulau Sembilan.
Bagiku masa kecil adalah imajinasi yang siap mengantarkan kita mendayung perahu ‘sampang’ dan menelusuri isi lautan. Betapa indahnya suatu masa saat ikan-ikan dan keanekaragaman SDA di laut masih berlimpah. Permainan kejar-kejaran (Mappondellari), Mangasing, main kelereng, Mapappe, dan masih banyak lagi adalah masa lalu yang sangat indah dimasanya. Sebelum massifnya televisi dan pengaruh game online. Sebelum masuknya kebiasaan merokok anak-anak sekolah, penggunaan lem, oposan dan lain sebagainya sebagai konsekuensi dari hancurnya tatanan sosial.
Syahdan, kami adalah sekelompok manusia yang pernah hidup di sebuah pulau kecil dalam cerita umat manusia. Ada sebuah keunikan yang terjadi dalam dinamika kehidupan di sana. Pulau yang terdiri dari sembilan gugusan itu adalah sebuah keindahan sebelum tiba kesengsaraan. Mulai dari Pulau Burung Loe, Liang-liang, Kambuno, Kodingareng, Batang Lampe, Larea-rea, Katindoang, Kanalo I dan Pulau Kanalo II.
Sekitar 40 tahun yang lalu, telah ada bom waktu yang siap meledak. Bom itu adalah bom kemiskinan dan kesengsaraan. Adalah bom yang meniadakan kedamaian yang hakiki. Ia adalah pengaruh asing. Saat orang asing datang ke Pulau Sembilan memperkenalkan Scuba Diving, sebuah pembantu alat menyelam. Juga potassium cyanida dan pupuk matahari yang menjadi pelengkap munculnya sebuah penyakit sosial. Sebagian dari masyarakat kami membuat bahan peledak dan racun ikan untuk mendapatkan hasil yang massif untuk memenuhi kebutuhan industri yang ada dikota-kota besar, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri seperti China, dan Hongkong.
Bom waktu yang telah tertanam itu akhirnya meledak secara perlahan. Orang-orang pada bergembira, mereka dari kalangan patron dan orang-orang yang terlibat dari proses suap menyuap, membangun hubungan simbiosis-mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan) adalah cerita lama yang telah banyak mewarnai kehidupan masyarakat di Pulau Sembilan. Mereka adalah yang paling banyak menikmati dan memasang hegemony, melanggengkan status quo yang terlanjur menipu mereka.
Akan tetapi, mereka yang menjadi pelaku bukanlah keseluruhan dari nelayan, melainkan hanya sebagian yang tinggal di sekitar 3 pulau diantaranya. Mereka menggunakan bahan peledak dan racun-racun ikan dengan maksud memperoleh kekayaan. Nelayan kecil adalah korban yang senantiasa ditelan maut. Mereka yang terbiasa mengalami dekompresi dan meledakkan bom ditubuhnya adalah korban sejarah yang tidak banyak dibicarakan.
Kini kesadaran akan kehancuran sumber kehidupan mulai tumbuh. Sayangnya kaang-karang yang menjadi tempat ikan menggantungkan hidup telah hancur dan mati. Karang-karang yang telah terkena bahan peledak telah berbaur dengan pasir, sementara yang terkena cairan potassium cyanida telah memutih, mati secara perlahan dan ikut hancur. Ikan-ikan telah gila dan susah mencari tempat untuk hidup.
Kini telah banyak penyakit yang muncul. Penyakit itu akibat ledakan bom waktu. Krisis ekologi dan munculnya penyakit sosial adalah suatu keterkaitan satu sama lain. Ekonomi adalah sebuah fondasi masyarakat. Mereka yang telah tak sanggup menghadapi kerusakan ekosistem terpaksa meninggalkan laut Pulau Sembilan, hanya untuk menggantungkan hidup. Dari perairan Jawa, Lombok, Bali dan perbatasan Australia, dan lain sebagainya, merantau mencari sesuap penghidupan dan meninggalkan keluarganya.
Ekonomi pada hakikatnya adalah sebuah keteraturan. Eko dan nomos adalah ilmu tentang rumah tangga. Yang secara etimologi sama dengan ekologi. Eko dan logos. Yang semuanya berbicara tentang rumah tangga. Sejatinya ekonomi dan ekologi adalah pondasi dasar bagi kehidupan yang harus dicapai oleh setiap manusia yang hidup di dunia. akan tetapi pada umumnya, masyarakat kita, pendidikan kita dan paradigma pemerintah selalu memandang ekonomi sebagai sebuah peningkatan pendapatan. Tanpa pernah memikirkan keberlanjutan lingkungan hidup (keseimbangan). Hingga akhirnya menjerat manusia dalam sebuah perangkap kemiskinan dan penyakit sosial.
Oleh karena itu, sejatinya perlu ada perubahan paradigma (cara pandang) dalam melihat kehidupan. Moral dan kecintaan adalah kuncinya. Sejatinya kita harus menghargai alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Menempuh jalan yang diperbolehkan. Kesederhanaan sejatinya harus kita rindukan menikmati perjalanan hidup yang singkat ini. (*)
*Isi menjadi tanggungjawab penulis