Sinjai.Info, Sinjai Timur, — Guru SMP Islam Terpadu Wahdah Islamiyah, Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur, Muhlis, dilaporkan ke Mapolres Sinjai atas dugaan penganiayaan anak di bawah umur.
Muhlis dilaporkan ke Polisi sejak tanggal 08 November 2019. Pelapor adalah Aminuddin Latif, warga Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara.
Berdasarkan tanda bukti lapor yang ditandatangani Kanit II SPK Polres Sinjai, AIPDA Catur Wahyu, Muhlis dilaporkan telah menganiaya siswanya berinisial MIN, pada Jumat, 08 November 2019, pukul 06.30 Wita, di area sekolah SMP Islam Terpadu Wahdah Islamiyah.
Paman korban, Hisbullah kepada Sinjai Info, Jumat (22/11/2019) sore, meminta polisi serius menangani kasus ini karena sudah masuk ranah kekerasan terhadap anak.
Hisbullah menjelaskan, MIN mengalami luka lebam dan memar pada bagian kaki, punggung, dan lengan. Di bagian punggung, ungkapnya, ada luka memanjang seperti terkena pukulan kayu.
Menanggapi laporan atas dirinya yang saat ini ditangani Polres Sinjai, Muhlis menuturkan bahwa yang ia lakukan sudah berdasarkan tata tertib di sekolahnya.
Saat menerima santri atau siswa baru, tata tertib tersebut, jelasnya, langsung disampaikan ke orang tua siswa. “Selain tertulis, kami juga sampaikan secara lisan kepada para orang tua bahwa kemungkinan ada hukuman fisik jika siswa terbukti melakukan pelanggaran berat. Dan orangtua memahami hal tersebut,” jelas Muhlis, kepada Sinjai Info, Jumat (22/11/2019) malam.
Terkait pemukulan kepada MIN, Muhlis yang pernah mondok di Pesantren Darul Huffadh Kajuara, dan alumnus sekolah Tahfiz Kassi, mengaku melakukannya setelah dirinya menerima laporan dari santri lain perihal kelakuan MIN yang merokok di lingkungan pendidikan.
“Lalu saya tanya anak-anak, apalagi yang sering dilakukan MIN di sekolah. Lalu mereka menjawab beberapa jenis pelanggaran yang sudah tergolong berat,” jelasnya.
Hisbullah sempat memprotes pihak Yayasan yang mengirim surat ke orang tua MIN, pada 19 November 2019. “Isi surat tersebut membuat kami jengkel karena jenis kesalahan anak kami dituliskan di situ padahal perihalnya hanya mengundang musyawarah'” kesalnya.
Muhlis membenarkan pihak yayasan telah berkirim surat panggilan ke orang tua MIN. Surat tersebut isinya meminta agar orang tua siswa/MIN hadir ke sekolah melakukan musyawarah.
“Surat yang isinya terdapat jenis pelanggaran itu surat kedua. Surat pertama ada juga kami kirim, tapi isinya panggilan untuk datang bermusyawarah tapi orang tua MIN tak pernah hadir. Akhirnya kami kirimkan surat kedua yang isinya menjelaskan jenis pelanggaran yang dilakukan MIN,” terangnya.
P2TP2A: Seharusnya Ada Mediasi
Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Sinjai, Wawan Irmansyah, mengaku sudah mendengar ada laporan terkait dugaan pemukulan yang dilakukan oknum guru di SMP IT Wahdah Islamiyah.
Namun ungkapnya, pihak P2TP2A Sinjai belum menerima laporan secara resmi. “Tapi biasanya penyidik Polres Sinjai akan memanggil kami jika kasus yang ditangani terkait anak,” kata Wawan, Jumat malam.
Wawan menyarankan agar dilakukan proses mediasi. “Biasanya kalau kasus seperti ini dilakukan proses mediasi. Saya pikir itu jalan yang lebih baik,” terangnya.
Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia tergolong tinggi, baik itu sebagai pelaku maupun sebagai korban. Berdasarkan UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan pada Pasal 9 ayat 1 bahwa setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
Kemudian pada Pasal 1a, Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Kendati sudah diatur dalam UU 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan sanksi yang menanti para pelaku kekerasan, namun perlu dijadikan pula acuan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) pada 2016 lalu. Menurut MA, guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.
Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Pada Pasal 39 ayat 1, dijelaskan bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya”.
Kemudian di Pasal 41 berbunyi “Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. (ZAR)