Menyantap Rempah Indonesia pada Semangkuk Coto Rampa

Pemilik usaha kuliner 'Coto Rampa', Imam Dzulkifli (kacamata) memberikan penjelasan kepada penulis tentang latar belakang pendirian usahanya, Sabtu (8/12) di Jalan Gladiol, Kabupaten Maros. (foto: satrianingsih)
Pemilik usaha kuliner ‘Coto Rampa’, Imam Dzulkifli (kacamata) memberikan penjelasan kepada penulis tentang latar belakang pendirian usahanya, Sabtu (8/12) di Jalan Gladiol, Kabupaten Maros. (foto: satrianingsih/sinjaiinfo)

Coto selalu diidentikkan dengan rebusan jeroan sapi bercampur daging. Tapi Coto yang satu ini justru dikenal karena rempahnya. Bukan dagingnya. Namanya Coto Rampa.

Penulis: Agusman

‘Tidak sah ke Makassar jika belum mencoba Coto Makassar’. Kalimat ini semacam tagline pemasaran, ditujukan kepada wisatawan atau siapa saja yang datang ke Makassar untuk mencoba mencicipi makanan khas Sulawesi Selatan ini.

Coto Makassar selama ini identik dengan jeroan dan daging Sapi. Dua bahan baku utama ini direbus, dan dicampur dengan rempah-rempah lalu disajikan bersama ketupat. Namun sekira 30 menit dari pusat Kota Makassar, tepatnya di pusat keramaian Kabupaten Maros, ada Coto yang justru identik dengan rempah-rempahnya. Bukan dagingnya. Namanya Coto Rampa.

Coto Rampa adalah brand usaha yang didirikan Imam Dzulkifli, pada 20 Oktober 2020. Baru setahun lebih. Coto Rampa berlokasi pada sepetak rumah toko (Ruko) di Jalan Gladiol No. 22, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros.

Fans Liverpool ini termasuk berani mengambil risiko mendirikan warung coto, secara usaha sejenis telah banyak berdiri di Maros hingga sepanjang jalan menuju Kota Makassar. Namun mantan jurnalis Harian Fajar ini melihat masih ada celah pasar yang bisa dimasuki. Ia tak takut bersaing dengan Coto Makassar.

Ia memulai usaha Coto Rampa setelah resign dari Harian Fajar. Ia mengaku akan sulit membagi waktu jika harus bekerja di media besar seperti Harian Fajar, juga sekaligus menjalankan usaha kuliner. Ia memulainya dengan relasi. Sejak menjadi redaktur ekonomi di Harian Fajar, Imam banyak bergaul dengan pelaku usaha, mulai dari UMKM sampai pengusaha besar.

“Dari situ saya mulai terpikir bahwa asyik juga punya usaha. Awalnya hanya sampingan. Tetapi kalau kerja di media besar sepertinya jauh lebih berat, dan saya kaluar lalu memulai merintis usaha kuliner,” ucapnya.

Dengan kemampuannya melakukan riset pasar, ia lalu membangun edukasi untuk memutus pendapat yang selama ini berkembang bahwa makan Coto itu berarti makan daging dan jeroan. Ia ingin Coto Rampa dikenal karena rempahnya. Tak heran ketika memasuki Coto Rampa akan terlihat pada salah satu dindingnya sebuah mini banner bertuliskan nama-nama rempah khas Indonesia yang digunakan. Seperti Serai, Pala, Kayu manis, Jintan, dan Merica. Juga ada Kunyit, Ketumbar, Bawang putih, dan Lengkuas.

Itu yang kami edukasi sehingga Coto Rampa itu bukan cuma dagingnya, tapi kandungan rempahnya yang memikat,” ujarnya singkat.

Imam menambahkan, alasannya memilih Coto karena makanan tersebut hampir tidak ada expired-nya. Coto ungkapnya, tak mengenal musim dan akan tetap eksis. “Karena itu untuk eksis harus ada yang unik dan harus kita tonjolkan. Coto Rampa menonjolkan rempahnya daripada dagingnya,” terangnya.

Sukses tidak diperoleh dengan cara instan. Selalu ada dinamika di dalamnya. Imam juga pernah merasakan yang namanya gagal merintis usaha. “Gagalnya itu di tahun pertama karena saya mengalami rugi besar. Waktu itu belum bernama Coto Rampa. Saya tidak menyerah. Saya bangkit dan akhirnya sekarang Coto Rampa mulai dikenal,” kata Imam yang juga mantan Koordinator Pemberitaan di Fajar Online. Pelanggan Coto Rampa dari berbagai kalangan. Rata-rata dari pegawai negeri, apalagi dekat dari kantor pemerintahan Kabupaten Maros.

Kendati telah memiliki usaha kuliner, kecintaan Imam terhadap dunia jurnalistik tidak bisa luntur. Ia bahkan mendirikan media daring bernama Mata Maros. Baik usaha kuliner, pun dengan media daring Mata Maros, semua butuh waktu untuk dikelola. Namun penyuka teh ini mengaku tak masalah karena ia punya karyawan yang bisa membantu pengelolaannya. (*)