Oleh: Zainal Abidin Ridwan
Selalu menarik belajar Ilmu Komunikasi. Komunikasi bukan hanya tentang cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan bahasa, baik verbal dan nonverbal. Ilmu Komunikasi sejatinya adalah seni yang tidak hanya menentukan seberapa baik kita berbicara, namun pula seberapa baik kita mendengarkan.
Saya sangat menikmati cara berkomunikasi Barack Obama ketika menjadi Presiden Amerika Serikat ke-44. Ia selalu tampil percaya diri kendati ia orang Afrika Amerika pertama yang menempati jabatan tersebut.
Barack Obama adalah komunikator teladan. Keterampilan retorisnya, kemampuan melukis gambar dengan kata-kata, membuat orang lain tidak hanya melihat apa yang dilihatnya tetapi merasakannya juga. Itulah yang melambungkan namanya di kancah perpolitikan Amerika Serikat.
Masih ingat dengan kalimat “Yes We Can”?. Obama menggunakan kalimat sederhana ini sebagai tema kampanyenya pada 2008. Slogan “Ya Kami Bisa” ala Obama berfungsi sebagai seruan untuk bertindak. Obama terlihat memberi tahu orang-orang bahwa jika mereka menginginkan Amerika yang berbeda, mereka harus bekerja untuk itu.
John Baldoni dalam ulasannya di Harvard Busines Review, malah secara detail menjelaskan bahwa Barack Obama akan memimpin seruan tersebut, tapi dia membutuhkan dukungan warga Amerika. Di sinilah kemampuan Obama memprovokasi orang lain untuk memberinya sudut pandang yang berlawanan. Kata John Baldoni, Obama suka bergelut dengan gagasan. Dia suka mendengar semua sisi dari suatu masalah.
Ada hal lain tentang Obama yang sangat penting untuk kemampuannya memimpin dalam krisis: ketenangannya. Ahli strategi lama dari Partai Demokrat AS, James Carville mencatat bagaimana sikap Obama berfungsi untuk memancarkan jaminan, sesuatu yang dapat membuat orang Amerika dalam krisis merasa nyaman.
Ketenangan seorang pemimpin seperti Obama saat menghadapi krisis, juga dibutuhkan Indonesia. Banyak persoalan yang terjadi di Indonesia sejak Covid-19 menjadi pandemi, dan ini membutuhkan karakter pemimpin yang kuat, menyampaikan sesuatu dengan tenang, serta memberikan jaminan dan kepastian agar masyarakat tetap nyaman meski berada dalam badai krisis.
Hanya saja itu belum kita temukan pada pemimpin-pemimpin kita di Indonesia. Ragam ambiguitas informasi berseliweran karena diumbar ke publik tanpa melalui kajian atau riset mendalam. Yang terbaru adalah mudik lebaran.
Mari kita tengok beberapa pernyataan pejabat kita soal mudik, yang berujung pada ketidakjelasan dan ragam penafsiran. Pada awal Maret 2021, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi membuat pernyataan di media massa bahwa mudik lebaran tidak akan dilarang. Saya mengutip satu media, cnbcindonesia. Media daring ini menulis judul ‘Menhub Sebut Mudik 2021 Tak Dilarang, Pengusaha Bus Girang’, terbit pada 18 Maret 2021. Yah, bukan main girangnya pengusaha angkutan.
Namun empat hari berselang, Wakil Presiden, Ma’ruf Amin menyanggah pernyataan Budi Karya Sumadi. Menurutnya, mudik atau tidak, baru akan ditentukan melalui rapat kabinet. Akhirnya pada 26 Maret 2021, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menyampaikan hasil rapat kabinet: Melarang mudik lebaran pada tanggal 6 hingga 17 Mei 2021. Yah, bisa dipastikan pengusaha angkutan meradang.
Pernyataan menarik namun membingungkan juga datang dari Menteri Pariwisata dan Ekraf, Sandiaga Uno. Sandiaga dalam Weekly Press Briefing, Senin 19 April 2021 tampil meluruskan pandangan publik yang menilai inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Mudik menurutnya dilarang dan harus dipatuhi, namun sektor pariwisata tetap buka dengan target kenaikan kunjungan wisata lokal.
Niat awal mencegah mudik karena ketakutan akan penyebaran covid-19 ternyata tidak berlaku di sektor pariwisata. Seolah-olah kerumunan yang timbul di lokasi wisata tidak berpotensi menyebarakan virus korona. Akhirnya muncul satire dari Netizen: ‘Jangan bilang mau mudik. Bilang aja mau ke lokasi wisata’.
Kesan terburu-buru dalam merespon publik juga terlihat pada terbitnya Surat Edaran (SE) Mendagri. Dua surat edaran dalam dua hari yang Mendagri Tito Karnavian tandatangani. Tito awalnya menerbitkan SE 450/2769/SJ tentang Pelarangan Kegiatan Buka Puasa Bersama pada Bulan Ramadhan dan Kegiatan Open House/Halal Bihalal pada Hari Raya Idul Fitri 1442 H/Tahun 2021. SE yang terbit pada 3 Mei 2021 itu ditujukan kepada gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia.
Namun keesokan harinya, Tito menerbitkan surat edaran baru untuk kepala daerah. SE 800/2794/SJ itu tentang Pembatasan Kegiatan Buka Puasa Bersama pada Bulan Ramadhan dan Pelarangan Open House/Halal Bihalal pada Hari Raya Idul Fitri 1442 H/Tahun 2021. Pelarangan diganti dengan pembatasan. Jika saya Kepala Daerah, saya sudah pasti akan kebingungan dalam tempo dua hari tersebut. Bingung karena surat edaran yang penuh ketidakpastian.
Soal Pandemi Covid-19, Saya tidak ingin berasumsi bahwa pemerintah hanya menanganinya secara parsial atau masih rendahnya kepatuhan masyarakat akan protokol kesehatan. Biarlah itu menjadi bahasan pada level praktisi atau pakar kesehatan. Namun dari corong Ilmu Komunikasi, saya ingin menyatakan bahwa salah satu penyebab pandemi covid-19 adalah buruknya komunikasi publik yang dibangun pejabat publik. Negara mesti membayar mahal akibat kurang efektifnya komunikasi publik.
Lagi-lagi kita harus belajar ke Barack Obama yang memiliki kefasihan verbal untuk memperjelas maksudnya. Tantangannya adalah memastikan bahwa kata-kata berfungsi sebagai dorongan untuk bertindak daripada berkembang secara retoris.
Ingat, kata-kata itu murah; tindakan adalah yang terpenting. (*)