Mendirikan usaha perkebunan dan pabrik daun Kelor mempunyai banyak tantangan. Selain butuh waktu meyakinkan pemilik modal untuk berinvestasi, juga harus menghadapi penggiringan opini sebagian pihak yang memasukkan Kelor sebagai bahan pangan, dan bukan tanaman herbal yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Laporan: Tamsil dan Reski Amalia
Fadli tak patah semangat ketika beberapa pihak pesimis akan upayanya membangun kebun Kelor dan pabrik pengolahnnya di Kecamatan Tonra, Kabupaten Bone. Sejak Desember 2019 hingga Desember 2020, yang ia kerjakan hanya meyakinkan semua pihak, dan mendatangi beberapa daerah yang telah lebih dahulu mengembangkan tanaman ajaib ini.
Di Kecamatan Tonra terdapat 11 Desa. Langkah awal yang dilakukan Fadli adalah meyakinkan semua Kepala Desa dan Direktur Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) akan besarnya potensi dan manfaat tanaman Kelor. Terutama manfaatnya dari sisi peningkatan pendapatan asli desa, dan pemberdayaan masyarakat di desa.
Mantan aktivis PMII ini mengaku tak mudah meyakinkan aparat desa, dan pengelola Bumdes. “Untuk membuat sebuah ide yang besar diperlukan banyak pengorbanan,” kata Fadli, Rabu, 6 Januari 2021. Setelah mampu meyakinkan pemerintah desa dan Bumdes, Fadli memfasilitasi pembentukan BUMDESMA atau BUMDES BERSAMA Wanua Tonra yang anggotanya adalah pengurus BUMDES 11 Desa.
BUMDESMA Wanua Tonra dipimpin Direkturnya yang bernama Salamun. Sama seperti Fadli, Salamun juga berlatar belakang fasilitator dan pendamping desa. Bedanya, Fadli mengundurkan diri sebagai Tenaga Ahli Pendamping Desa karena mendirikan perusahaan bernama PT. Plaza Desa Indonesia. Perusahaan inilah yang bermitra dengan BUMDESMA Wanua Tonra mengembangkan tanaman Kelor.
Khusus BUMDESMA Wanua Tonra, saat ini memiliki tiga unit usaha, yakni perkebunan Kelor seluas tiga hektar di Kampung Togeo Desa Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra. Kemudian Wisata Puncak Kelor Ta, dan Pabrik Pengolahan Kelor,” tambah Direktur BUMDESMA, Salamun.
Hanya saja, khusus pendirian unit usaha Pabrik Pengolahan Kelor, cuma 9 Desa yang berinvestasi atau menanamkan modalnya sebesar 250 juta per desa. Fadli yang juga pernah menjadi Tenaga Ahli Pendamping Desa di Kabupaten Sinjai meyakinkan bahwa pabrik yang sementara dibangun ini, menjadi salah satu pabrik pengolahan Kelor terbesar di Sulawesi Selatan dan memiliki lisensi.
“Kita berani membuat pabrik pengolahan Kelor karena kita memiliki kebun di Puncak Kelor Ta seluas tiga hektar. Dalam satu hektar bisa ditanami 10 ribu pohon Kelor, dan inilah yang menjadi pemasok utama bahan baku pabrik pengelolaan daun kelor yang kami bangun di Kecamatan Tonra,” ucap Fadli, optimis.
Dalam perjalanannya, kebun Kelor di kampung Togeo ternyata memiliki view yang menarik. Banyak yang datang ke lokasi ini bukan sekadar melihat pohon Kelor, namun juga menikmati panorama alam. Fadli bersama Direktur BUMDESMA Wanua Tonra lalu kepikiran untuk membuat konsep Agro Wisata.
“Kami awalnya hanya membuat kebun Kelor. Tapi lama kelamaan, kok tempat ini menjadi ramai didatangi warga. Akhirnya kami sepakat membuat konsep Agro Wisata. Awalnya kami bikin tangga dan gazebo. Jadi, tempat ini kami namakan Puncak Kelor Ta yang mengusung konsep Berwisata Sambil Belajar atau BSB,” ungkap Fadli, yang diamini Salamun.
Puncak Kelor Ta terus ditata oleh pengelola BUMDESMA Wanua Tonra. Saat ini bukan hanya Gazebo dan spot foto yang dibuat. Juga disiapkan aula pertemuan serta Kafe. Menariknya, Kafe ini menyiapkan menu makanan dan minuman yang bahan dasarnya dari Kelor. Seperti Teh Moringa, Kopi Moringa, dan Espresso Moringa. Bahkan ada minuman penambah imunitas dan vitalitas, yakni STMJK atau Susu Telur Madu Jahe Kelor.
Yang terbaru di Puncak Kelor Ta adalah Flying Bicycle. Cukup membayar 20 ribu per orang, pengunjung bisa bersepeda sembari melihat pemandangan alam dari ketinggian. Tempat ini juga mudah diakses. Hanya sekira dua kilometer ke arah belakang Pasar Kecamatan Tonra. (*)