Warisan itu Bernama Kopi Pattongko
Dingin malam menyergap di Kampung Lappara, Dusun Bonto, Desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah. Belum ada yang menarik selimut dan memakai jaket tebal. Warga mengandalkan segelas kopi untuk melawan hawa dingin dan kantuk. Sembari menyaksikan perseteruan empat bersaudara yang berebut harta warisan.
Oleh: Zainal Abidin Ridwan
Ashar dan Nurul adalah pasangan suami-isteri. Di usia yang telah renta mereka tetap berusaha menunjukan gelora cinta yang membara. Sesekali mereka saling kejaran di pematang sawah, lalu berkirim cium jauh seperti saat muda dulu.
Ketika mempraktikkan semua romantisme itu, baik Ashar dan Nurul harus berjuang keras menopang tulang belakangnya dengan tangan kanan kiri. Silih berganti. Jalan mereka sudah bungkuk. Tandanya kondisi fisik tak bisa dibohongi.
Selain kondisi fisik yang menurun, pasangan yang telah kakek nenek ini mesti berhadapan dengan psikisnya yang bergejolak seperti ombak di Teluk Bone. Keduanya dilematis mengambil keputusan. Empat anaknya berebut harta warisan. Semua ingin mendapatkan lebih: harta dan perhatian orang tua.
Ashar dan Nurul tak ingin salah mengambil keputusan. Keserakahan anak-anak mereka akan harta warisan harus segera dicarikan solusi. Sama seperti ketika keduanya memberikan solusi agar cucu-cucunya tidak kecanduan gawai.
Harta warisan keluarga Ashar dan Nurul ini adalah potongan cerita dan adegan yang dimainkan Komunitas Tobonga, saat pementasan teater di Festival Kampong Lappara II, Desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Sabtu, 6 November 2021, malam.
Pementasan teater Komunitas Tobonga yang dibina oleh seniman Abidin Wakur, adalah salah satu bagian penting dari Festival Kampong Lappara II. Naskah yang dipentaskan sarat akan pesan-pesan moral. Salah satunya pesan kepada para orang tua untuk mencegah anak- anaknya agar tidak kecanduan gawai, yang dapat berakibat pada tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal atau local genius seperti hilangnya budaya Mappatabe dan rasa hormat kepada kedua orang tua.
Pesan yang sama pentingnya turut disuarakan oleh para pemusik tradisional dari Kampung Lappara. Petikan sepasang Gambus dan alat musik lainnya mengiringi penyanyi yang membawakan syair-syair berbahasa Bugis dan Konjo. Syairnya tentang alam dan laku manusia. Ratusan pasang mata yang menyaksikan pertunjukan ini larut pada syahdunya malam.
Festival Kampong Lappara diinisiasi oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Lappara. Sebagian pengurusnya adalah petani kopi dan anak-anak muda setempat. Ini kali kedua Pokdarwis Kampung Lappara menggelar festival di pematang sawah. Lokasinya juga berada persis di dekat green house Kopi Pattongko.
Nama Ramly Usman dan Ismail melekat di hati warga setempat khususnya para petani Kopi. Ramly adalah founder Kopi Pattongko, sekaligus fasilitator Festival Kampong Lappara. Kehadirannya di Kampung Lappara bersama Ismail, selain untuk budidaya dan pengolahan kopi, juga ingin mengajak warga setempat menjaga warisan leluhur, yakni Kopi. Bagi Ramly, kopi di Kampung Lappara bernilai ekonomi tinggi. Jika dilestarikan dan dikelola sesuai standar pasar, maka akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat.
Brand Kopi Pattongko adalah pengejawantahan upaya kerasnya bersama Ismail, dalam mengenalkan Kopi dari pegunungan Lappara, Sinjai Tengah kepada khalayak. Ia dan Ismail telah mengelilingi sebagian besar warkop, kedai, dan kafe di Sulawesi Selatan hanya untuk menyodorkan rasa dari Kopi Pattongko. Rasa yang lahir dari hasil petik merah petani kopi di Lappara. Festival Kampoeng Lappara adalah cara dan media lain yang dirintisnya untuk memasifkan keberadaan Kopi Pattongko khas Kabupaten Sinjai.
“Saya secara pribadi juga mengajak pemerintah untuk memberi perhatian pada komoditi Kopi. Kami apresiasi upaya pemerintah yang membagi-bagikan bibit Kopi kepada petani. Tapi tolong, lakukan riset dulu sebelum membagikan bibit. Jangan sampai petani diberikan bibit Arabika namun geografis wilayahnya lebih cocok ditanami Robusta. Demikian pula sebaliknya. Kondisi ini beberapa kali kami temukan di lapangan,” kata Ramly memberi catatan disela-sela bincang kopi di lokasi festival.
Festival Kampoeng Lappara jauh dari ingar bingar kota dan suara bising kendaraan bermotor. Lokasinya berada di tengah hutan dan di kaki gunung Pattontongan Sinjai Tengah. Kendati demikian, ratusan pengunjung dari berbagai tempat tetap datang memadati Lappara untuk melihat pementasan, dan mencoba aroma Kopi Pattongko.
Jika ini konsisten dilakukan, maka bukan tidak mungkin Kopi Pattongko dan Festival Kampoeng Lappara akan menasional. Bahkan mendunia. Orang-orang nantinya akan saling berebut tempat duduk di kafe, kedai, dan warkop hanya untuk menyeruput Kopi Pattongko, warisan bernilai ekonomi tinggi dari tanah Sinjai, Sulawesi Selatan. Kopi Pattongko adalah Sinjai. Sinjai adalah Kopi Pattongko. (*)