Mencari Nener di Laut Dangkal Sinjai Timur

Nuraedah, warga Desa Pasimarannu, Kecamatan Sinjai Timur mencari nener atau bibit ikan Bandeng di laut dangkal Desa Panaikang, Sinjai Timur. Ia menggunakan jaring tradisional yang disebut Hunre untuk menangkap nener. (foto: ZAR/sinjaiinfo)

Empang harus tetap terisi dan berproduksi. Nener menjadi solusi karena mudah ditemukan di laut dangkal, dan untuk menangkapnya hanya menggunakan peralatan tradisional.

Laporan: Zainal Abidin Ridwan

Pukul tujuh pagi, Nuraedah mulai menyusuri laut dangkal di sepanjang Pantai Mallenreng, Desa Panaikang, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai. Wanita paruh baya ini mencari nener atau bibit ikan Bandeng.

Pekerjaaan ini telah ia lakoni sejak lama. Nuraedah tak sendiri. Sebagai besar warga –khususnya pemilik empang– di sepanjang garis pantai Sinjai Timur, kerap memanfaatkan waktu senggang mereka mencari bibit ikan Bandeng.

Mencari nener adalah salah satu cara agar empang Nuraedah tetap terisi dan berproduksi. Caranya sangat sederhana. Tak perlu berenang atau menyelam untuk menemukan nener. Cukup di laut dangkal dengan menggunakan alat tangkap sederhana.

Untuk menangkap Nener, Nuraedah yang juga warga Desa Pasimarannu, Kecamatan Sinjai Timur menggunakan jaring khusus. Warga setempat menyebutnya Hunre. Hunre adalah jaring berbentuk segitiga yang semua sisinya diikat pada tiga batang kayu.

Umumnya jaring Hunre berwarna hitam. Ini untuk memudahkan pencari nener melihat hasil tangkapannya. Pasalnya, selain ukurannya sangat kecil, nener juga berwarna putih bening yang hanya bisa terlihat jika jaringnya berwarna gelap.

“Hunre hanya didorong di laut dangkal. Lalu kita perhatikan baik-baik jaringnya. Jika ada yang warnanya putih bening, bentuknya seperti jarum, kemungkinan itu nener,” kata Nuraedah, Minggu (04/10/2020) pagi.

Nener yang terperangkap di jaring disimpan ke ember kecil yang berisi air. Bibit-bibit ikan Bandeng tersebut harus tetap hidup sebelum ditebar ke empang.

“Di rumah kami siapkan wadah penampung nener sebelum dibawa ke empang. Butuh waktu enam bulan untuk panen ikan Bandeng,” terang Nuraedah.

Menangkap nener menggunakan Hunre juga pernah dilakukan warga Sinjai Timur lainnya, Andi Massolerang. Namun sebelum Hunre, ia mengaku sempat menggunakan daun pisang kering.

Daun pisang kering yang warnanya cokelat, akunya, juga memudahkan melihat nener saat terperangkap. “Dulu sebelum ke sekolah kami pergi cari nener. Pulangnya juga begitu. Tapi dulu kami gunakan daun pisang kering,” katanya mengenang.

Andi Massolerang yang juga alumni 96 SMAN 1 Sinjai, ini mengaku pekerjaan mencari nener di desanya tak seramai dulu lagi. Salah satu penyebabnya, populasi nener mulai berkurang. “Mungkin berkurang karena banyaknya limbah bekas perahu di laut dangkal,” tandasnya.

Sependek pengetahuannya, hanya warga Desa Sanjai, Kecamatan Sinjai Timur yang masih sering beramai-ramai turun mencari bibit ikan Bandeng.

Merawat Bibit Ikan Bandeng

Kebanyakan benih ikan bandeng diperoleh dari alam dengan cara menangkap di laut. Seperti yang dilakukan Nurhaedah. Meski dengan cara alami, tetap butuh perlakuan khusus agar benih ikan Bandeng tersebut berkualitas.

Salah satu komponen penting dalam usaha budidaya ikan adalah pakan. Pakan yang baik, menunjang proses pertumbuhan dan perkembangan ikan Bandeng. Hal ini diakui Kepala Seksi Budidaya Dinas Perikanan Kabupaten Sinjai, Emil Salim.

“Nener yang ditangkap di laut dangkal itu namanya bibit alam. Warga di Sinjai Timur kadang menggunakan tepung atau dedak sebagai pakan. Jika pakannya bagus dan rutin, maka ikan Bandeng bisa dipanen, hanya dalam jangka waktu empat bulan,” jelas Emil Salim.

Di Kabupaten Sinjai, budidaya ikan Bandeng tetap menjadi unggulan di sektor perikanan. Lokasi budidaya ikan ini tersebar di Kecamatan Sinjai Utara, Sinjai Timur, dan Tellulimpoe.(*)