Oleh: Musaddaq (direktur komite pemantau legislatif (KOPEL) sulawesi)
Baru-baru ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengeluarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan PKPU Di dalam pasal 8 ayat 1 Huruf j secara tegas tidak membolehkan mantan koruptor, mantan bandar narkoba, dan mantan pelaku kejahatan seksual anak mendaftarkan diri menjadi anggota legislatif, baik tingkat kota/kabupaten, provinsi atau pusat dalam tahapan Pemilu 2019.
Kebijakan dari KPU ini menurut hemat penulis merupakan langkah progresif yang harus didukung oleh semua pihak sebagai niat baik dari KPU untuk ikut bertanggung jawab dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bebas korupsi.
Meski pun aturan ini melahirkan resistensi yang begitu massif dari berbagai pihak yang merasa dirugikan lantaran dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Khusus dalam Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik, namun perlu kita apresiasi langkah progresif yang dilakukan KPU sebagai lembaga Independen dan mandiri serta bebas dari intervensi.
Kebijakan yang progresif ini setidaknya membuka kembali harapan publik di tengah munculnya sikap permissif masyarakat terhadap otorisasi negara. Keluarnya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 membangkitkan optimisme publik bahwa di negeri ini masih banyak orang yang punya komitmen dalam memberantas korupsi. Ekspektasi ini harus terus digelorakan secara massif sebagai bentuk perlawanan kolektif dalam memerangi korupsi di negeri ini. Momentum pemilihan legislatif tahun 2019 yang sedang berjalan prosesnya, merupakan entry point bagi penyelenggara pemilu, parpol dan civil society untuk bersama-sama mendorong proses pemilihan legislatif yang lebih berkualitas sehingga kedepan konstruksi demokrasi lebih berkualitas.
Proses rekruitmen calon anggota legislatif merupakan fenomena penting sebagai langkah awal untuk menentukan kualitas demokrasi kita, sehingga jika proses rekruitmen tidak menggunakan standar rekruitmen yang jelas seperti dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 terkait tidak diperbolehkannya mantan koruptor, mantan bandar narkoba, dan mantan pelaku kejahatan seksual anak mendaftarkan diri menjadi anggota legislatif maka sangat berpotensi parlemen akan dihuni anggota legislatif yang bermasalah. Berdasarkan data dalam sepuluh tahun terakhir yang dirilis KPK, jumlah pejabat yang korupsi yakni anggota DPR/DPRD dengan jumlah kasus sebanyak 132 anggota DPRD.
Fenomena korupsi yang dilakukan anggota dewan baik DPR maupun DPRD tidak hanya perlu dilihat dari perspeltif tugas dan kewenangannya, akan tetapi mesti dilihat dari persepektif yang lebih luas termasuk proses rekruitmen. Apakah parpol dalam menentukan caleg sudah menggunakan standar kompetensi dan integritas ataukah merekrut caleg hanya karena pertimbangan kemampuan finansial dan sosial, jika hanya standar ini yang digunakan oleh parpol merekrut caleg bisa diproyeksi wajah parlemen kita akan semakin buram. Cita-cita kita mewujudkan parlemen yang bersih dan berwibawa akan semakin jauh ekspektasi publik.
Sebagai solusi untuk mewujudkan parlemen yng bersih dan berwibawa maka proses rekruitmen calon legislatif yang dilakukan oleh Partai Politik sudah seharusnya memprioritaskan calon-calon yang mempunyai kompetensi dan integritas sebagai syarat agar calon-calon terpilih mengembang amanah rakyat sebagai representasi tidak melakukan korupsi sehingga muruah parlemen sebagai institusi yang memproduk nilai akan terjaga dari perilaku korup. Selain itu, keterlibatan publik dalam mempelajari rekam jejak caleg sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan. (*)