Opini: Pendidikan dan Sikap Inklusif

Ilustrasi: Pendidikan Inklusif (int)

Pendidikan dan Sikap Inklusif
(Refleksi Hari Anak Sedunia)

Oleh: Ainani Hermansyah
(Ketua Yayasan Fatih Malebbi)

Tulisan ini dibuat sebagai bentuk empati terhadap Ayah Bunda yang saat ini tengah berjuang mendampingi buah hati dalam proses tumbuh kembangnya. Tulisan ini semoga juga bisa mewakili suara hati kami sebagai ibu di Hari Anak Sedunia yang diperingati setiap tanggal 20 November.

Sebelumnya mari kita coba mereview pemahaman kita tentang hakikat pendidikan. Pada jurnal berjudul ‘Hakikat Pendidikan’ yang ditulis Dudung Rahmat Hidayat, dikatakan bahwa hakikatnya pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan diarahkan pada tujuan yang diharapkan agar memanusiakan manusia atau menjadikannya sebagai insan kamil, manusia utuh atau kaffah.

Sementara Inklusif sendiri artinya sikap terbuka untuk menerima dan berinteraksi dengan orang lain, meskipun memiliki perbedaan. Inklusif juga dapat berarti kemampuan mengikutsertakan orang lain tanpa membeda-bedakan.

Mari mencoba memaknai hakikat pendidikan dan arti inklusif itu dari sudut pandang fenomena yang sedang terjadi saat ini.

Saat ini kami diberi amanah oleh Allah swt sebagai penanggung jawab dari beberapa lembaga pendidikan, baik non formal maupun formal. Kami banyak bertemu dengan orangtua dan anak-anak dengan berbagai karakter. Sebagai pendidik yang diamanahi untuk memahami semua karakter peserta didiknya baik karakter positif maupun negatif, ada satu fenomena menarik yang wajib untuk kita perhatikan dalam proses mengembangkan potensi peserta didik, yaitu jumlah anak yang membutuhkan perhatian khusus jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Berkebutuhan khusus adalah istilah yang merujuk pada individu yang memiliki karakteristik khusus tersebut baik dari segi fisik, mental, sosial atau emosional yang berbeda dengan individu pada umumnya atau dengan kata lain anak berkebutuhan khusus ini adalah anak yang memiliki hambatan dalam proses tumbuh kembangnya.

Dan ternyata, jumlah anak berkebutuhan khusus dengan gangguan atau disabilitas mental semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penyandang Autisme di Indonesia disinyalir semakin meningkat setiap tahunnya khususnya anak dengan diagnosa penyandang autisme. Pada tahun 2000 tercatat bahwa dalam setiap 500 anak terdapat satu penyandang autisme.

Di tahun 2006 meningkat lagi dengan asumsi di setiap 150 anak terdapat satu anak penyandang autisme dan mirisnya lagi di tahun 2023 data terbaru tim di Jurnal Autism Research menunjukkan bahwa jumlah ini meningkat menjadi satu anak penyandang autisme per 100 anak.

Fenomena ini tentunya patut menjadi perhatian kita selaku orangtua dan juga sebagai pendidik. Lalu pesan apa yang ingin kami sampaikan dalam tulisan ini.

Mari kita bermuhasabah seperti dalam Al Qur’an Surah an Nisa ayat 9 yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.s. An-Nisa’: 9).

Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk berhati-hati dalam meninggalkan generasi dalam keadaan lemah. Kelemahan yang dimaksud dalam ayat tersebut bersifat umum. Di antara bentuk kelemahan generasi Islam adalah: lemah dalam bidang akidah, lemah dalam bidang ibadah, lemah secara intelektual/keilmuan, dan lemah secara ekonomi.

Dalam konteks Pendidikan Inklusif, anak-anak dengan diagnosa ADHD ataupun Autism berhak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensinya tanpa membedakan dengan anak lainnya. Mereka adalah anak-anak atau individu unik yang pastinya telah Allah berikan mereka kelebihan sebagai pelengkap kekurangan mereka.

Dan ini merupakan tantangan tersendiri bagi orangtua atau pun pendidik disekolah untuk memperlakukan mereka dengan kebaikan, kasih sayang dan rasa hormat kepada mereka dan menyiapkan pertolongan demi tercapainya tujuan penciptaan mereka di atas muka bumi ini.

Adapun bentuk pertolongan yang dapat diberikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK dari orangtua maupun pendidik adalah dengan menyiapkan perawatan medis dan terapi yang tepat serta menciptakan lingkungan inklusif untuk mencegah mereka tumbuh menjadi generasi yang lemah.

Hal penting lainnya yang patut diperhatikan adalah menyiapkan mental orangtua sebagai daya dukung tumbuh kembang ABK. Hindari anggapan bahwa memiliki anak disabilitas sebagai bentuk kutukan namun lihatlah keberadaan mereka sebagai takdir Ilahi.

Berikan hak mereka berupa sentuhan, ciuman atau pelukan untuk meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi mereka. Kenali kebutuhan mereka, dan jangan lupa tumbuhkan jiwa spiritual mereka agar tumbuh hubungan dan kesadaran yang lebih dalam tentang nilai-nilai dalam agama.

Terakhir, kami ingin menyampaikan bahwa Ayah Bunda tidaklah sendiri. Ada banyak orang ataupun lembaga pendidikan yang akan mendukung kita dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak-anak berkebutuhan khusus ini. Perkuat hubungan dengan Allah SWT, percayalah bahwa Allah adalah sebaik-baiknya tempat meminta hal-hal baik bagi anak-anak kita.

Wallahu ‘Alam Bisshawab. (*)