Sinjai.Info, Sinjai Utara,– Selain Masjid Al Mujahidin di Desa Lamatti Riaja, Kecamatan Bulupoddo yang usianya terbilang tua, masih ada masjid tua lainnya di Kabupaten Sinjai yang sudah berdiri sejak zaman Kerajaan Lamatti. Masjid tersebut adalah Masjid Nur Balangnipa di Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara
Masjid Nur Balangnipa tercatat dalam direktori masjid tertua di Provinsi Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan pada tahun 1660 oleh seorang sayyid keturunan Arab, dan digunakan untuk syiar Islam di wilayah Kerajaan Lamatti saat itu.
Masjid Nur sebagai pusat penyiaran Islam di Kabupaten Sinjai mencapai kejayaannya ketika dikelola oleh K.H. Muhammad Tahir. Saat itu K.H. Muhammad Tahir atau Puang Kali Taherong menjadi Takmir Masjid Nur menggantikan Sayyid Abu.
Di masjid inilah Puang Kali Taherong mengenalkan konsep ‘mangngaji tudang’ untuk mengajarkan kitab kuning. Mangngaji tudang adalah proses pendidikan Islam dalam bentuk halaqah. Mereka yang mau belajar kitab kuning harus duduk (tudang) melingkar dihadapan K.H Muhammad Tahir.
Konsep ‘mangngaji tudang’ yang diterapkan Puang Kali Taherong ini menjadikan murid-muridnya lebih cepat paham apa yang diajarkan, karena setiap bacaan yang salah langsung dikoreksi oleh Puang Kali. Namun tidak semua murid yang datang belajar memiliki kemampuan yang sama. Untuk membedakan setiap kemampuan murid-muridnya, Puang Kali membaginya menjadi dua kelas.
Bagi murid-murid yang masih pemula diberikan tempat di lantai dasar Masjid Nur, dan dibekali dengan kitab kuning tingkat dasar serta setoran hafalan Al-Qur’an yang tidak mengikat. Sementara di lantai dua masjid adalah tempat bagi murid-murid yang kemampuannya di atas rata-rata. Di masjid ini pulalah pendiri Pondok Pesantren Darul Istiqamah, KH Ahmad Marzuki Hasan berguru.
Mangngaji tudang yang diterapkan Puang Kali dengan cepat menyebar informasinya ke berbagai pelosok negeri. Murid-muridnya tidak hanya dari Sinjai, tapi sebagian besar daerah di Sulawesi Selatan datang ke Sinjai untuk belajar. Karena yang datang belajar semakin banyak mendorong Puang Kali mendirikan Madrasah Muallimin di samping Masjid Nur.
Pada tahun 1935, Puang Kali merenovasi Masjid Nur dengan melakukan perluasan pada bangunan masjid dari luas 15 × 15 menjadi 25 × 45, dan mendirikan tiga menara tanpa menghilangkan konsep asli masjid tersebut.
Puang Kali Taherong dan Bumi Panrita Kittaq
K.H. Muhammad Tahir atau Puang Kali Taherong sejak beberapa tahun terakhir kerap dihubungkan dengan tagline Sinjai ‘Bumi Panrita Kittaq’. Konsep mangngaji tudang yang diterapkan dan diadopsi oleh murid-muridnya ketika kembali ke kampung halamannya, menjadi salah satu alasan slogan tersebut disematkan ke Kabupaten Sinjai.
Tapi siapa sebenarnya K.H Muhammad Tahir?. Kyai kharismatik ini lahir di Sinjai pada tahun 1884. Oleh orangtuanya diberi nama sapaan Andi Muhammad Taherong. K.H Muhammad Tahir adalah keturunan bangsawan. Ayahnya yang bernama Andi Abdul Rahman Daeng Patawa merupakan Sullewatang atau Wakil Arung Lamatti pada masa pemerintahan Pakki Daeng Masiga.
Muhammad Tahir sempat mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR) selama empat tahun dan berijazah. Pada usia 21 tahun tepatnya 1906-1907 diangkat menjadi jaksa di Sinjai. Jabatan ini sangat menjanjikan di zamannya. Karena menjadi jaksa inilah nama Muhammad Tahir makin disegani.
Pada suatu momentum Muhammad Tahir melakukan perubahan terbesar dalam hidupnya. Ia mengundurkan diri sebagai jaksa di tengah karirnya yang menanjak. Ia ‘hijrah’ dari urusan duniawi dan cenderung pada urusan ukhrawi. Muhammad Tahir memutuskan memperdalam Islam dengan berangkat ke Mekah.
Sebelum ke Mekah, Muhammad Tahir terlebih dahulu berguru ke beberapa kyai lokal seperti K.H. Abdul Razak, K.H. Daeng Parau, dan Imam Timurung yang makamnya terdapat di kompleks Masjid Rayatul Hidayah Biringere, Kecamatan Sinjai Utara
Sekembalinya dari Mekah pada 1914, Muhammad Tahir mengajarkan ilmu yang diperolehnya melalui konsep Mangngaji tudang. Kemudian pada 1923-1951 Muhammad Tahir dipercaya sebagai Kadhi Kerajaan Lamatti. Saat menjadi Kadhi inilah sapaan Puang Kali Taherong melekat pada dirinya. Pada 1951 K.H. Muhammad Tahir diangkat sebagai Penghulu Muda dengan jabatan Kepala Bagian Kepenghuluan pada Kantor Urusan Agama Kabupaten Bonthain.
K.H. Muhammad Tahir yang juga perintis berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama di Sinjai ini wafat pada usia 93 tahun, tepatnya pada 20 Agustus 1977. Salah satu peninggalannya yang fenomenal adalah naskah tulisan tangannya berjudul Singkeru LimappuloE. Kitab ini berisi tentang 50 pesan-pesan hikmah kehidupan ke-Islaman. (ZAR)
*Sebagian naskah dikutip dari tulisan Abu Muslim (Balai Litbang Agama, Makassar)