Oleh : Muhannis (Budayawan)
(Bagian Kedua)
Seiring dengan semakin memudarnya ajaran pallohe yang tidak mampu menjawab beberapa hal yang sifatnya metafisika terutama masalah ketuhanan, maka tentu saja memberikan gerakan atau ruang yang lebih leluasa kepada masyarakat yang mulai gelisah mempertanyakan konsep tuhan. Dalam ajaran animisme dan dinamisme, konsep tuhan tak bisa dijawab dengan memuaskan. Sementara Islam saat itu mampu memberikan jawabannya, sehingga menjadi daya tarik kuat dari masyarakat pada waktu itu. Kondisi ini mampu menarik minat masyarakat untuk beralih kepada ajaran baru, ditambah lagi dengan rajanya yang telah memeluk Islam juga.
Pada saat Datuk Tiro berhasil mengislamkan Raja Tiro Launru Daeng Biasa pada tahun 1606, masyarakat Sinjai pun telah mengetahuinya sehingga menjadi berita gempar dalam masyarakat yang telah mulai gelisah dengan ajaran leluhurnya. Demikian gemparnya sehingga Arung Tondong dan Arung Bulo-bulo mengutus pembesar-pembesarnya untuk belajar langsung ke Tiro mengenai Islam itu sendiri. Duta pionir dimaksud adalah Petta Massambangnge dan Puang Belle dengan harapan bahwa ajaran itu dapat diperkenalkan kepada rakyatnya apabila memang dapat menjawab kegelisahan seluruh warga. Akhirnya setelah belajar Islam di Tiro, maka mereka membawa hasilnya kepada rajanya masing-masing.
Setelah Petta Massambangnge tiba di Tondong maka dia memperkenalkan ajaran baru itu dikalangan masyarakat Tondong sehingga Arung Tondong I Tohokke juga tertarik masuk islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat yang dipandu langsung oleh Datuk Tiro. Demikian pula dengan Arung Lamatti La Towa Suro di islamkan pula oleh Datuk di Tiro. Karena di Lamatti dan Tondong langsung langsung diterima oleh seluruh warga termasuk pembesar-pembesar kerajaan yang dengan mudah menerima islam sebagai agama resmi.
Dilain pihak, Arung Bulo-bulo yang pada saat itu dibawah kekuasaan I Daomo Maabbisuneng Eppae, justru mendapat tantangan dari pembesar-pembesar kerajaan yang bergabung dengan Bulo-bulo sehingga didatangkanlah Datuk ri Bandang ke Sinjai untuk menyadarkan semua pembesarnya yang menantang atau memberikan pemahaman. Akhirnya Datuk Ri Bandang tiba di sungai Sanjai dijemput oleh pembesar-pembesar kerajaan yang setuju dengan ajaran Islam. Saat kedatangannya terjadi kemelut karena penguasa sungai itu adalah Arung Sanjai yang bernama LetoE yang mengancam akan mengadakan perlawanan apabila Islam itu dipaksakan kepadanya untuk dianut.
Ucapan yang terkenal adalah Uppakuae seppangngi minangaae ri sanjai. Alasannya adalah karena dia tidak mau ripangngolo, ripacuku, ripaconga esso wenni. Tetapi setelah diberikan pemahaman yang mendalam maka dia faham dan menyatakan diri masuk Islam bahkan juga menjadi penganjur islam hingga ke alona apareng.
Setelah Arung Sanjai memeluk islam maka menyusul Arung Baringeng. Tetapi persoalan belum selesai karena masih muncul lagi tantangan lain karena ternyata Arung Batupake belum siap menerima dan bahkan mengancam membunuh Datuk Ri Bandang apabila ketentuan membayar zakat diharuskan kepada seluruh warga Bulo-bulo termasuk rakyat batupake.
Tetapi dengan penuh kesabaran dari Arung Sapotinggi sebagai pendamping dari Datuk Ri Bandang selama menjalankan misinya di Bulo-bulo, maka Arung Batupake menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Bahkan pada saat pelantikan mokki atau pengurus masjid dan pegawai syara oleh saukang samataring, beliau menghadirinya dan berjanji untuk menyebarkan ajaran ini kepada seluruh rakyatnya.
Akhirnya Datuk Ri Bandang merasa lega dan siap meninggalkan Bulo-bulo dan melantik Arung Sapotinggi sebagai pemimpin keagamaan di Bulo-bulo. Apalagi saat itu Arung Bulo-bulo yang baru yakni La Pateddungi memeluk Islam setelah menggantikan ibunya I Daomo. Dalam sejarah dicatat bahwa raja pertama di Sinjai yang memeluk Islam adalah La Pateddungi ini pada tahun 1607. (Bersambung)