Sejarah Masuknya Islam di Sinjai dan Perkembangannya

Oleh : Muhannis (Budayawan)

(Bagian Kelima)

Sekitar kemerdekaan sampai masuk jaman DI/TII bermunculan lagi ulama-ulama kharismatik sebagai penerus ulama yang lebih dahulu menghadap sang khalik. Salah satu nama yang sangat popular adalah ustadz Ahmad Marzuki Hasan sebagai pendiri dari Pesantren Darul Istiqamah yang tetap eksis sampai kini, bahkan berkembang pesat di luar Sinjai.

Agama Islam yang telah menyatu dengan hati warga Sinjai, memiliki peluang untuk memaksakan seluruh ajaran secara murni, karena secara politik sangat dominan. Tetapi dalam perkembangannya justru tetap menerapkan kompromi budaya dan menghargai kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat selama hal itu tidak bertentangan dengan kaidah Islam. Hal ini dapat kita lihat dengan tetap memberikan ruang dan tempat kepada budaya lokal untuk berasimilasi dengan budaya islam.

Perpaduannya menghasilkan budaya baru yakni budaya Islam. Hal ini dapat kita lihat dalam pesta-pesta perkawinan, naik rumah baru, serta tradisi-tradisi lainnya yang membungkus tradisi itu dengan budaya baru yakni Islam. Hal ini memberikan suatu bukti kepada kita bahwa Islam mampu melakukan suatu simbiosis budaya demi keutuhan sebuah masyarakat.

Apabila kita menelusuri lebih jauh ke belakang seperti masa megalitikum yang di Sinjai mencapai puncak kejayaannya pada abad XIII ternyata masih digunakan oleh masyarakat hingga kini. Gambaran-gambaran nyata itu meyakinkan bahwa kearifan raja-raja masa lalu serta ulama-ulamanya patut dicontoh. Bentuk mesjid tua di Aruhu dan Sinjai misalnya memilih bentuk limas dan joglo adalah lanjutan dari budaya megalitikum yakni punden berundak-undak.

Punden berundak itu sendiri adalah warisan dari model yang dikembangkan oleh agama Hindu dan Budha. Contoh yang paling kongkrit adalah pada candi Borobudur. Demikian pula dengan menempatkan sebuah kendi atau balubu di puncak mesjid adalah lanjutan dari kebiasaan masyarakat dahulu menyimpan abu mayatnya dalam sebuah kendi, lalu ditempatkan dalam candi atau vihara.

Demikian pula apabila kita meneliti lebih lanjut bentuk-bentuk makam Islam kuno di Sinjai, maka kita tidak menyadari lagi bahwa bentuk-bentuk makam itu sendiri adalah lanjutan dari budaya megalitikum yang tetap digunakan walau dibungkus dengan budaya Islam. Bentuk makam dengan jirat atau tanpa jirat, berundak-undak. Susun timbun, semuanya adalah masih merupakan budaya megalitikum. Penggunaan nisan apakah itu bentuk phallus, monolit dan hulu keris, baik pada nisan kaum bangsawan maupun nisan masyarakat biasa semuanya menggambarkan kompromi budaya lokal dan Islam, apalagi dengan menempatkan kuburan di puncak-puncak bukit.

Untuk mengaburkan kesan budaya jaman batu maka biasanya leluhur-leluhur kita membungkusnya dengan bentuk-bentuk budaya yang bercirikan Islam. Beberapa cara yang digunakan adalah dengan menuliskan seni khas Islam seperti penulisan nama dengan tulisan arab yang indah-indah, penulisan nama dan bulan serta lokasi meninggalnya pemilik makam. Untuk lebih memperindah kadang-kadang dituliskan petikan ayat-ayat suci Al-Quran dengan indahnya disisi-sisi jirat atau dengan membuat hiasan non figuratif dan tidak natural terutama bentuk manusia atau hewan.

Contoh makam yang dapat memberikan gambaran kepada kita akan perpaduan budaya itu adalah kompleks makam Toreang daeng Matengnga dipinggir sungai Kalaka tepatnya di kampung Linrung, makam-makam raja-raja Manimpahoi serta makam di dekat mesjid di Kelurahan Biringere, Kecamatan Sinjai Utara. (Bersambung)