— Refleksi Hari Jadi Sinjai ke-455 Tahun 2019 —
Dua kebudayaan dominan, yakni kebudayaan Bugis dan Makassar, mengapit kabupaten Sinjai dari sisi geografisnya. Dalam peta budaya akan tampak bahwa Sinjai adalah wadah leburnya kedua kebudayaan ini. Di masa lalu, kebudayaan Sinjai tidak terpola berdasarkan etnik, tetapi berdasarkan pada kelompok-kelompok kecil pemukiman yang disebut dengan wanua dan dipimpin oleh Matoa atau Gella. Dalam perkembangannya Wanua–wanua kecil disatukan dengan munculnya Tomanurung.
Yang menarik di Sinjai adalah proses kehadiran Tomanurung yang sangat berbeda dengan Tomanurung pada umumnya di Sulawesi Selatan. Di hampir semua daerah di Sulawesi Selatan, kehadiran sosok Tomanurung selalu dikaitkan dengan sosok dewa penyelamat dari sebuah chaos atau sianre bale akibat pertentangan –pertentangan beberapa wanua yang tak kunjung berakhir. Sementara di Sinjai, kehadiran sosok Tomanurung selalu berhubungan atas perannya sebagai pembuka lahan-lahan pertanian, sehingga selalu disebut Mula Timpa’e Tana seperti Tomanurung Caile, Mula Taue Ri Kanrung dan Manurungnge Ri Karampuang.
Dalam proses perkembangan Sinjai, kehadiran Tomanurung mampu mempersatukan seluruh wanua yang ada untuk menjadi dua konfederasi, yakni Pitu Limpoe di wilayah pegunungan dan Tellu Limpoe di wilayah pantai. Kedua konfederasi ini membawahi pula beberapa wilayah adat yang tetap otonom yang mengikat perlindungan kepada sebuah kerajaan besar yang disebut Makkarolang seperti Karampuang kepada Lamatti, Paccing kepada Tondong, Rombo kepada Bulo-Bulo.
Wilayah-wilayah adat tadi kebanyakan adalah pusat – pusat ritual. Dalam status makkarolangnya mereka memiliki sifat yang tidak mengikat, sehingga dapat beralih kepada kerajaan lain tanpa kekerasan. Seperti beralihnya wilayah adat Kanrung dan Bongkong yang awalnya makkarolang kepada Manimpahoi beralih kepada Tondong, hanya karena kasus hidangan lauk pauk yang tidak sesuai dengan pembicaraan sebelumnya antara pimpinan adatnya dengan Arung Manimpahoi pada sebuah kegiatan kerja bakti (Muhannis, 2009 ). Dengan dukungan 10 kerajaan besar ditambah dengan wilayah-wilayah adat makkarolang pada salah satu kerajaan anggota dua konfederasi tadi inilah yang terbingkai menjadi Sinjai yang dikenal saat ini.
Sekarang muncul pertanyaan apakah kedua konfederasi inilah terpaksa dijadikan kabupaten ataukah mengikuti pelabelan-pelabelan kolonial yang akhirnya demi tuntutan administratif selanjutnya dibentuk menjadi onderafdeling lalu kabupaten oleh pemerintah Indonesia.
Mungkin ini adalah sebuah keraguan yang tak beralasan, tetapi kalau kita kaji lebih jauh, maka tampak pembenaran ini dapat terbukti manakala kita hubungkan identitas kedua konfederasi itu dari segi etnik atau linguistiknya, yakni pitu limpoe dengan dasar dominan etnik Makassar (konjo) serta Tellu Limpoe dengan dasar etnik Bugis.
Dengan adanya dua konfederasi yang otonom, maka di Sinjai tidak dikenal adanya watang Sinjai. Inilah yang menjadi sulit karena tak ada ikatan emosional yang sama sebagai pengikat. Dalam perjalanan sejarahnya, ikatan primordial linguistik serta beberapa jejak kultur lain, tidak pernah menjadi alasan untuk tidak saling berhubungan dan berinteraksi sesama pendukung kebudayaan tertentu.
Sesama anggota tak mempunyai batas-batas wilayah yang sakral yang diungkapkan dengan “Maddumme Sipalalo, Mabbele Tessi Passoro, Lempa’asepa Mappannessa “. Inilah menjadi modal betapa utuhnya kesepuluh kerajaan ditambah daerah bawahannya yang terbingkai ke dalam Sinjai yang damai.
Namun demikian kita tidak boleh lengah dan bangga dengan kondisi masa lalu ini. Karena perkembangan zaman, sebuah wilayah yang dibangun atas dasar hubungan genealogis linguistic serta jejak-jejak kultural lain sewaktu-waktu dapat menjadi arena rivalitas etnik. Persekutuan berdasarkan budaya homogen menjadi sebuah trend baru dengan berupaya menggali identitas-identitas yang memungkinkan terjadinya pembenaran untuk membentuk wilayah baru yang dapat mengacaukan ke- Sinjai-an kita.
Susah dibayangkan apabila tidak dilakukan upaya penguatan bingkai ke- Sinjai-an. Identitas etnik yang ingin dibangun berdasarkan budaya homogen lalu dimanipulasi untuk mengoposisikan diri dengan kelompok lain, kemudian dibumbui dengan deferensiasi genealogis serta alasan primordial murahan lain.
Sebuah identitas apakah itu genealogis etnik maupun jejak-jejak budaya lain dapat direkayasa menjadi rasional sehingga menjadi daya dukung terbentuknya suatu kelompok baru.
Terbentuknya kelompok baru dengan keinginan bersatu dengan dasar rivalitas etnik tadi, lalu dihubungkan dengan kekuatan ekonomi, sosial, politik telah terbukti ampuh menjadi daya pembubar. Dapat kita lihat terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat yang terpisah dari Sulawesi Selatan karena dasar jejak linguistik, Luwu berkeinginan lepas dari Sulawesi Selatan karena jejak kultural, Bone pun santer akan pecah dengan alasan pembangunan tidak merata.
Sejarah telah mencatat bahwa wilayah Sinjai saat ini adalah wilayah yang tidak utuh lagi, karena tiga kerajaan anggota konfederasi Pitu Limpoe telah lepas dari Sinjai yakni lepasnya Pao, Suka dan Balasuka, yang masuk ke dalam wilayah Gowa hanya karena Arung Pao membunuh kontrolir Belanda. Dengan demikian untuk konfederasi Pitu Limpoe tersisa Manipi, Terasa, Turungeng dan Manimpahoi menjadi milik Sinjai. (Muhannis, 2009)
Untuk menghindari hal-hal terburuk ini, maka dibutuhkan beberapa perekat yang dapat mengikat bingkai Sinjai agar tetap utuh. Perekat yang paling ampuh ialah dengan tetap memelihara hubungan yang kuat antara semua elemen masyarakat tanpa dikotomi masyarakat Konjo dengan Bugis atau Pitu Limpoe dengan Tellulimpoe, antar rumpun ini dan itu.
Selanjutnya menepis anggapan pemusatan pembangunan di perkotaan, dominasi rumpun tertentu, ataupun perbedaan politik. Kalau perekat ini dapat diciptakan, maka kebanggaan memiliki Sinjai akan semakin kuat. Yang terpenting adalah keberanian kita menerima perbedaan untuk bersatu dalam wadah yang sama, yakni Sinjai Bersatu. Selamat Hari Jadi Sinjai ke-455 Tahun 2019. Tuoki’ Malampe Sunge’ (*)