Regulasi Mengancam Ekosistem Laut

Tim KKN Tematik ENJ UNHAS saat melakukan Transplantasi Terumbu Karang (foto: doc KKN UNHAS)

Kerusakan terumbu karang merupakan permasalahan utama yang ada di Perairan Teluk Bone, khususnya Kabupaten Sinjai. Keterbatasan pengetahuan masyarakat akan pembangunan berkelanjutan, dan cara pandang melihat laut hanya sebagai obyek yang siap untuk dieksploitasi, adalah salah satu penyebabnya.

Ulasan: Zainal Abidin Ridwan

Kapolres Sinjai saat menggelar jumpa pers terkait penangkapan 18 nelayan, yang diduga membawa bahan peledak, Kamis 18 Oktober 2018 (foto: kari/sinjai info)

Antropolog Lulusan Belanda, yang juga Dosen di Universitas Hasanuddin, Munsi Lampe, telah meneliti di Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai sejak tahun 1979. Dalam penelitiannya, Munsi Lampe menjelaskan bahwa sejak tahun 1980-an, masyarakat Pulau Sembilan sebagian besar bekerja sebagai Pengebom Ikan, terutama sebagian masyarakat yang ada di Pulau Kambuno, Pulau Kodingare dan Pulau Kanalo.

Munsi, mengurai bahwa penyelam di Pulau Sembilan awalnya hanya mencari teripang. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak yang menggunakan alat tangkap bom dan bius, serta mengganti alatnya dengan menggunakan kompresor. Aktivitas ini kemudian menimbulkan cacat fisik, seperti lumpuh yang dialami para penyelam tradisional tersebut.

Kendati risiko yang ditimbulkan bisa berujung cacat fisik dan kematian, namun aktivitas pengeboman ikan tidak berkurang. Kondisi inipun membuat terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, hancur tak tersisa. Untuk memulihkan kerusakan terumbu karang, juga bukan perkara mudah dan sederhana.

“Kami minta agar pihak Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia serta pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sinjai menindak tegas para pelaku, dan oknum-oknum yang menggunakan bius dan bom saat mencari ikan. Penggunaan material tersebut telah banyak menyumbang kerusakan ekosistem di laut. Kami juga meminta pihak keamanan tidak lepas tanggung jawab atas permasalahan ini,” tegas Muhammad Ashari, Mahasiswa Perikanan Unhas kepada Sinjai Info, Sabtu (11/08/2018) lalu.

Ashari yang tergabung dalam Tim KKN Tematik Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) Universitas Hasanuddin (UNHAS), dalam sebuah forum di Kantor Kecamatan Pulau Sembilan, saat itu dengan tegas meminta agar pemerintah setempat dan masyarakat bersama-sama mencegah penggunaan alat tangkap ilegal, dan segera membenahi lautan.

Sebagai bentuk kepedulian terhadap alam, peserta KKN Tematik ENJ UNHAS pada tanggal 6 hingga 11 Agustus 2018 lalu, telah mengadakan pananaman bibit dan transplantasi terumbu karang di perairan Pulau Sembilan. Tersisa bagaimana menjaga dan merawat terumbu karang tersebut, agar tidak dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kewenangan Daerah Dipangkas, Ekosistem Laut Terancam

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat aturan yang berpotensi mengancam keberlangsungan ekosistem laut di Kabupaten/Kota. Aturan tersebut terdapat pada Sub Urusan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Di situ dijelaskan bahwa Pemerintah Pusat diberi kewenangan mengawasi sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil, strategis nasional dan ruang laut tertentu. Sementara kewenangan Provinsi adalah pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan 12 mil. Pada Sub Urusan ini, tak satupun kewenangan diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sinjai Sultan H. Tare, kepada Sinjai Info, Jumat (19/10/2018) pagi, memang mengakui bahwa regulasi tersebut memangkas kewenangan mereka untuk mengawasi wilayah perairan Kabupaten Sinjai.

“Makanya sejak tahun 2017 hingga sekarang, kami tidak melakukan pengawasan dan patroli di laut karena larangan untuk menganggarkan operasional kegiatan pengawasan. Sekarang ini semua menjadi kewenangan pihak Provinsi,” keluh Kadis Perikanan Sinjai.

Dari segi efektivitas, memang tidak efektif ketika tugas pengawasan dilimpahkan hanya kepada pihak provinsi. Keterbatasan personil dan luasnya wilayah pengawasan menjadi kendala. “Bagi saya pribadi memang tidak efektif kalau hanya pihak provinsi yang mengawasi. Setau saya mereka hanya turun sekali dalam tiga bulan di perairan Sinjai. Kalau dulu, kami bisa turun sampai dua kali sebulan melakukan patroli bersama Polairud dan Pol PP,” tuturnya.

Kendati kewenangannya berkurang, Dinas Perikanan Kabupaten Sinjai, ungkapnya tetap melakukan pengawasan dan sosialisasi di 13 daerah pesisir Kabupaten Sinjai. “Penyuluh dan kelompok berbasis masyarakat binaan kami tetap aktif mengawasi, dan melakukan sosialisasi meski tak seefektif ketika melakukan patroli di laut,” pungkasnya.

Terkait penangkapan 18 nelayan oleh Polres Sinjai pada Kamis (18/10/2018) di perairan Pattongko, Kecamatan Tellu Limpoe, yang kedapatan membawa material untuk mengebom ikan, Kepala Dinas Perikanan memberikan apresiasi. Ia mengaku tidak menyangka jika di daerah tersebut ternyata ada peracik bom ikan.

“Kami kaget karena di Pattongko ditemukan pelaku bom ikan. Padahal daerah pesisir di daratan awalnya tidak kami temukan. Selama ini yang kami awasi hanya Pulau Kodingare dan Pulau Kambuno. Terima kasih kepada bapak Kapolres dan jajarannya yang berhasil mengungkap kasus ini,” pungkasnya.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004, dengan tegas melarang penggunaan bom ikan. Hanya saja penegakan hukum dari regulasi tersebut terkesan masih ‘mandul’. Rudi Hasbullah, aktivis pemuda dari Kelurahan Lappa meminta aparat keamanan serius menangani kasus pengeboman ikan di wilayah Sinjai.

“Masih banyak pelaku perusak ekosistem laut, khususnya yang beroperasi di Teluk Bone. Tangkap semua dan hentikan kegiatan pengeboman. Kalau ada yang ditangkap, aparat keamanan harus transparan menangani kasusnya,” tegas Rudi Hasbullah, Jumat (19/10/2018) siang.

Ekosistem laut adalah salah satu ekosistem yang penting bagi manusia. Sama seperti di darat, ekosistem laut juga terdiri dari Flora dan Fauna. Laut memiliki banyak manfaat bagi manusia, sehingga melestarikan laut akan berdampak pada keseimbangan ekosistem di bumi. (*)