Mengarifi Musibah Covid 19

Relawan Desa penanggulangan Covid-19 di Desa Polewali, Kecamatan Sinjai Selatan membagikan masker kepada pengguna jalan. Kegiatan ini dipimpin Kades Polewali, Minggu (12/04) pagi. (foto: doc panpel)

Oleh, Sudirman P.

Ketua LP2M IAIM Sinjai

Akhir- akhir ini bencana alam dan musibah datang silih berganti. Sejak krisis moneter terjadi, yang kemudian berdampak pada jatuhnya kualitas hidup kita dalam berbagai aspek kehidupan: semakin banyaknya jumlah orang miskin dan pengangguran, konflik social keagamaan dan kesukuan yang mengambil korban jiwa dan harta benda, serta munculnya wabah virus corona yang menghebohkan dunia juga adalah sebuah bencana.

Dalam situasi yang demikian menyedihkan ini, seringkali muncul pertanyaan mengapa musibah datang silih berganti, tiada henti-hentinya, apakah dosa kita? Sudah sedemikian besarkah dosa kita sehingga musibah tidak segera surut hilang, untuk mengingatkan kita semua agar kita sadar, bertobat dan mau kembali kepada jalan yang besar. Al-Qur’an (Surah Ar-Rum: 41) mengatakan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karna perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar kembali (ke jalan yang benar).

Musibah dalam visi kitab suci adalah akibat dari ulah dan perbuatan manusia, yang tidak peduli atas hukum-hukum yang mengatur kehidupan itu sendiri, seperti nafsuh keserakahan manusia untuk mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya, sehingga mendorong mereka melanggar hukum-hukum kehidupan.

Selanjutnya al-Qur’an (Surah al-Bakarah:155) mengatakan: “dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”. Ya, musibah memang menakutkan, sebab mendatangkan kelaparan di mana-mana merenggut nyawa, dan semuanya itu harus diterima sebagai cobaan Tuhan kepada kita, karna memang semuanya itu terjadi di luar keinginan dan kehendak manusia sendiri, bahkan manusia tidak kuasa untuk menghalanginya.

Seperti halnya musibah wabah virus corona yang kini menggetarkan dunia, karna mereka hadir dimana-mana, tanpa memandang rasa, agama, etnik serta kebangsaan. Bahkan virus ini dapat membuat manusia harus menjauh dari semua aktivitas massal, termasuk menjalankan ritual keagamaan. Lebih ekstrimnya lagi virus ini memaksa manusia untuk mengosongkan masjid-mesjid suci, warkop-warkop  dan tempat keramaian lainya. Masing-masing Negara merespon virus ini dengan cara berbeda. Ada Negara yang mengunci wilayahnya dan memaksa warganya untuk tidak bepergian dan ada pula yang memilih opsi yang berbeda. Semuanya ini terjadi di luar kesadaran kita sebagai manusia.

Dalam menyingkapi musibah ini, kita tidak bisa menyalahkan orang lain, menggugat sana dan menggugat sini. Kita pun tidak bisa menebarkan caci maki atas semua kejadian dan musibah itu. Bahkan, sikap yang tidak arif mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain, sebab akan berakibat munculnya perasaan tidak menerima atas kejadian yang menimpanya dan akan membawanya larut dalam duka nestapa  yang berkepanjangan. Dan itu bisa mendatangkan frustasi dan menyeret jiwa pada jurang kejatuhan dan kehancuran, hati jadi kelam dan mata jadi gelap, dan sebagainya.

Al-Qur’an (Surah al-Baqarah: 156) mengatakan: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan , “kita semua milik Allah SWT dan kita semua akan kembali kepadanya.” Mereka itulah yang mendapatkan berkah yang sempurna dan rahmat dari Tuhan, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.

Kitab suci mengajar kita mengubah keadaan, dengan cara menerima setiap musibah itu dengan sabar, sebagai cobaan Tuhan kepada kita, sehingga musibah adalah bagian dari tencana Tuhan untuk mengubah kualitas kehidupan menjadi lebih baik. Bukankah musibah adalah ujian kita? Oleh karna itu, dalam kepasrahan yang total atas rencana Tuhan itu, dan tetap berusaha semaksimal mungkin mencegah musibah itu untuk menuju takdir Tuhan yang lain, maka akan muncullah kekuatan dan harapan baru untuk bangkit membangun kehidupan yang lebih baik.

Dalam kepasrahan yang total, energi ilahi terserap masuk dalam relung batinnya yang paling dalam, dan menggugah semangatnya memulai kehidupan baru. Sehingga musibah membuatnya seperti dilahirkan kembali, badai pasti berlalu dan musibah pun membawa rahmat, bencana membawa nikmat.

Jika bencana dan musibah adalah akibat ulah dan perbuatan manusia, maka kita jugalah yang harus menanggung semua akibatnya dengan mengubahnya sekuat tenaga menjadi rahmat. Kita harus memaknai setiap musibah yang datang sebagai proses untuk menguji diri dan berusaha agar kita pun lulus dalam ujian itu. Sehingga, kita dapat memasuki kehidupan yang lebih baik dengan menyadari kesalahan-kesalahan di masa lalu dan kita berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, dengan membuat rencana baru, program baru, semangat dan etos kerja untuk dapat lulus atas setiap ujian yang menimpa kehidupan kita.

Janganlah musibah yang menyakitkan dan memilukan perasaan kita itu hanya berlalu begitu saja tanpa memberikan makna kepada kita. Oleh karna itu, kita harus memaknainya, sehingga kita selalu sabar dan siap untuk menghadapinya, meskipun kita sangat tidak mengharapkanya terjadi.

Musibah juga bagian dari kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup, sehingga semakin besar cobaan yang diterima, harus semakin tinggi pula kualitas hidup pribadi yang bisa kita raih. Mudah-mudahan bangsa kita bisa belajar dari musibah yang dating silih berganti, dan kita diberi kekuatan jasmani dan rohani untuk dapat keluar dari krisis dan mengubahnya menuju jalan kehidupan ke hari depan yang lebih sejatera. Amin.

 

*)Seluruh isi menjadi tanggung jawab penulis