Pada debat calon Bupati dan Wakil Bupati Sinjai tanggal 1 November 2024, Gedung Pertemuan Sinjai penuh dengan harapan masyarakat akan masa depan yang lebih baik, terutama dalam bidang pendidikan. Para calon pemimpin berbicara tentang visi mereka, tentang janji untuk mengangkat pendidikan di daerah Sinjai, terutama bagi anak-anak di pelosok yang selama ini hanya melihat kemajuan dari kejauhan.
Namun, di tengah gemuruh optimisme itu, ada kekosongan yang terasa: apakah kata-kata mereka cukup kuat untuk membawa perubahan nyata?.
Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, setiap keluarga, dan pada akhirnya masa depan Sinjai itu sendiri. Sayangnya, apa yang seharusnya menjadi janji penuh makna seringkali terdengar seperti kalimat klise tanpa arah yang jelas.
Para calon terlihat berbicara tentang akses pendidikan, namun gagasan mereka seringkali terhenti pada tataran ide, tanpa rencana aksi yang bisa dilihat, dipahami, atau diharapkan akan terwujud. Bagaimana mungkin janji pendidikan bisa menyentuh hati masyarakat jika setiap anak di desa terpencil masih kesulitan mendapatkan akses ke sekolah yang layak?.
Masalah kesenjangan pendidikan antara kota dan desa menunjukkan bahwa persoalan ini tidak sederhana. Tantangan besar bagi Sinjai adalah keterbatasan akses internet di desa-desa yang hampir seperti tembok besar antara anak-anak di kota dan mereka yang di pedalaman.
Namun, solusi yang ditawarkan para calon kurang menyeluruh. Memasang jaringan internet hanyalah langkah awal; lebih penting dari itu adalah membangun kapasitas masyarakat untuk memanfaatkan teknologi ini secara optimal.
Bagaimana dengan pelatihan untuk guru dan orang tua, dukungan berkelanjutan, dan kemitraan yang bisa menjamin keberlanjutan akses internet?. Pendidikan di pedesaan memerlukan pendekatan lebih dari sekadar terhubung, ia membutuhkan dukungan sistemik yang membuat teknologi benar-benar berdampak.
Lebih mengkhawatirkan lagi, jumlah anak-anak yang tidak bersekolah di Sinjai mencapai 3.194. Ini bukan sekadar angka; setiap angka mewakili mimpi yang tertahan, potensi yang tak tersalurkan.
Janji pemberian beasiswa adalah langkah awal yang baik, tetapi ini hanya menyentuh permukaan. Sebagian besar anak-anak ini tidak bersekolah bukan hanya karena biaya; ada lapisan masalah yang lebih dalam, kurangnya sekolah dengan fasilitas memadai, kurangnya dukungan bagi keluarga yang masih terbebani kebutuhan ekonomi harian, dan rendahnya kualitas pendidikan yang mereka terima.
Memberikan beasiswa tanpa reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan hanyalah tindakan yang setengah hati.
Debat ini memperjelas satu hal: niat baik saja tidak cukup untuk menjawab persoalan pendidikan di Sinjai. Apa yang diharapkan oleh masyarakat adalah pemimpin yang berani merancang dan mengeksekusi perubahan nyata, bukan sekadar pemanis kata.
Sinjai membutuhkan pemimpin yang memahami bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang memerlukan perhatian penuh dan solusi yang terintegrasi.
Jika calon pemimpin benar-benar ingin menjadikan pendidikan sebagai prioritas, mereka harus hadir dengan rencana yang jelas, berani menembus tantangan, dan berkomitmen penuh pada upaya yang komprehensif. Pendidikan di Sinjai, terutama di wilayah terpencil, membutuhkan sentuhan yang tulus dan pendekatan yang strategis. Tanpa itu, janji-janji ini hanya akan menjadi retorika yang berlalu begitu saja, meninggalkan masyarakat dalam kekecewaan yang sama dari tahun ke tahun.
Sudah saatnya Sinjai memiliki pemimpin yang tidak hanya mengumbar janji, tetapi mampu merealisasikannya dengan hati dan visi yang tulus. Kualitas pendidikan adalah hak semua anak, baik di kota maupun di pelosok desa.
Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memastikan bahwa hak ini bukan hanya janji yang terdengar indah, tetapi juga janji yang dijalankan dengan langkah nyata, membawa masa depan yang lebih cerah bagi setiap anak di Sinjai. (*)