Euforia Pelantikan Kepala Daerah di Tengah Badai Efisiensi Anggaran

Penulis :
MUSADDAQ
Direktur Lembaga Penguatan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAPPERMA)

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto telah melantik secara serentak kepada 961 orang kepala daerah yang terdiri dari 33 gubernur dan 33 wakil gubernur, 363 bupati dan 362 wakil bupati, 85 wali kota dan 85 wakil wali kota yang bertempat di istana negara. Harapannya, pelantikan tidak hanya bersifat ceremoni, tetapi jauh dari itu, ada harapan masyarakat terhadap perubahan positif dari kepala daerah yang baru.

Pelantikan kepala daerah secara serentak menjadi peringatan dini (early warning) kepada kepala daerah untuk memaknai spirit efisiensi anggaran sebagai bentuk komitmen Presiden Prabowo.

Sebagai bentuk komitmen tersebut, presiden telah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD, secara keseluruhan efisiensi tahun anggaran 2025 mencapai 306 Triliun lebih.

Pemangkasan anggaran di tingkat kementerian/lembaga sebesar 256 triliun lebih, dan transfer ke daerah 50 triliun lebih. Lebih lanjut, efisiensi meliputi belanja operasional dan non operasional, sekurang-kurangnya terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

Belanja rutin sebagaimana yang dijelaskan dalam Inpres tersebut selama ini dinilai sebagai pemborosan anggaran yang kurang berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya pelayanan publik, justru yang terjadi cenderung hanya membuka ruang praktik-praktik korupsi bagi pejabat daerah dengan modus yang beragam. Misalnya, pengadaan ATK, makan minum, foto copy, perjalanan dinas yang selama ini menjadi lahan basah yang sangat di rawan korupsi dengan berbagai modus termasuk mark up.

Bukti nyata, banyak kepala kepala daerah tersandung kasus korupsi karena penyelewengan anggaran. dalam data yang dirilis dari ICW, dari tahun 2021 hingga 2023 ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum dengan mayoritas modus korupsinya adalah suap menyuap dan penyalahgunaan anggaran.

Kebijakan efisiensi belanja haruslah dibarengi dengan spirit pemberantasan korupsi yang lebih serius, distribusi anggaran yang berkeadilan dan lebih penting dijalankan secara konsisten mulai dari pemerintah pusat sampai kedaerah. Karena seringkali implementasi kebijakan ditingkat daerah, pejabat daerah “bandel” dengan mengabaikan atau mengakali peraturan untuk korupsi.

Selain itu, untuk efektifitas implementasinya diperlukan tindakan preventif dengan mengakselerasi adanya mekanisme kontrol berupa instrument yang digunakan untuk mengasistensi, memonitoring dan mengevaluasi APBN/D dan secara tegas adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak menjalankan inpres tersebut.

Di sisi lain, kebijakan efisiensi belanja juga penting membuka ruang keterlibatan publik untuk akuntabilitas dan transparansi kebijakan. Prinsipnya, keterlibatan multipihak akan meminimalisir praktik-praktik abouse of power dalam tata kelola pemerintahan. Bahwa kepala daerah dimandatkan untuk menjalankan aturan dengan tetap mempertimbangkan agenda pemerintahan ditingkat lokal dengan menyelaraskan agenda prioritas dalam RPJPD dan RPJMD.

Tantangan Bagi Kepala Daerah

Pasca pelantikan kepala daerah yang ditandai dengan sumpah jabatan, sebagai titik awal menjalankan pemerintahan daerah. Publik menaruh ekspektasi besar adanya perubahan yang lebih baik dan menepati janji-janji politik. Mandat rakyat sebagai amanah yang kemudian akan menjadi mandat konstitusional yang terintegrasi dalam RPJMD.

Bagi publik, janji politik kepala daerah sebagai kontraktual yang akan ditagih sebagai pertanggung jawaban politik, moral dan konstitusional kepada masyarakat.

Namun, untuk mewujudkan visi dan misi, kepala daerah akan menghadapi tantangan sebagai dampak efisiensi anggaran, di mana pemerintah pusat memangkas transfer ke daerah sebesar 50 triliun lebih. Tentu kepala daerah harus memikirkan solusi strategi dalam menata proses pembangunan di daerah di tengah keterbatasan anggaran sehingga agenda-agenda strategis yang merupakan mandatori tujuan pembangunan berkelanjutan tetap bisa berjalan. Seperti penanganan kemiskinan ekstrem, sanitasi layak, perumahan layak, penanganan banjir, sampah, antisipasi perubahan iklim.

Belum lagi pada aspek keterpenuhan kebutuhan mendasar masyarakat seperti gas, kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan kesehatan.

Untuk menghadapi tantangan kedepan, tidak ada jalan lain bagi kepala daerah untuk kreatif dan bekerja keras dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya daerah, dengan catatan tanpa membebani rakyat dengan pajak dan retribusi yang tinggi.

Di samping itu, adaptasi teknologi untuk mendukung kinerja aparatur wajib dilakukan semua instansi sebagai langkah penghematan anggaran. Dan, pentingnya perubahan perilaku dan mindset bagi aparatur menyikapi perubahan regulasi yang memaksa kepala daerah mengencangkan ikat pinggangnya membelanjakan APBD.

Semua itu penting dilakukan jika menginginkan agenda pembangunan yang telah termaktub dalam RPJMD berjalan secara simultan. (*)