Dalam konteks pendidikan karakter, faktor lingkungan memiliki peran yang sangat penting. Perubahan perilaku peserta didik, sangat ditentukan oleh faktor lingkungan di mana peserta didik tersebut bertempat tinggal.
Oleh: Zainal Abidin Ridwan
Cuaca sangat terik. Matahari terasa hanya sejengkal dari kepala. Padahal jarum jam di dinding ruangan guru SD Negeri 15 Kambuno, Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai baru menunjuk angka 09.55 wita. Anak-anak di sekolah ini sebagian besar sudah bersiap pulang ke rumah, setelah menuntaskan dua materi ulangan tengah semester.
“Anak-anak pulang lebih awal, pak. Karena saat ini adalah jadwal ulangan tengah semester,” kata Murdiyana, guru SD Negeri 15 Kambuno, Rabu (27/9/2017). Di sekolah ini, Murdiyana adalah guru senior. Ia sudah 33 tahun mengajar di Kecamatan Pulau Sembilan. Usianya sekarang memasuki angka 53. Jadi ia tahu betul karakter anak-anak di pulau yang berjarak 13 mil laut dari Kecamatan Sinjai Utara: Ibukota Kabupaten Sinjai.
“Kalau karakter anak-anak di daerah pesisir atau kepulauan itu keras, dan kadang sangat susah diatur. Sebagian besar karena pengaruh lingkungan, utamanya di lingkungan keluarga,” terangnya.
Untuk mengajar anak-anak yang memiliki karakter keras seperti di SDN 15 Kambuno bukan perkara mudah. Murdiyana sudah merasakannya sejak ia masih berstatus guru sukarela. Tantangan terbesar yang ia temukan adalah kebiasaan orang tua mengajak anaknya ikut melaut.
Kadang menurutnya ada anak yang tidak ke sekolah. Kadang pula ada yang ke sekolah tapi membolos. Alasannya cuma satu: ikut orang tuanya mencari ikan. Jika sudah begitu, biasanya ruang kelas hanya terisi sebagian.
Yang paling menyedihkan ungkap Wali Kelas IIA SDN 15 Kambuno, ini adalah ketika harus menghadapi kenyataan salah satu muridnya meninggal dunia di tengah laut. “Namanya Moe. Ia meninggal saat masih duduk di kelas 5. Waktu itu ia ikut bapaknya melaut, dan meninggal karena terkena bom ikan,” tutur Murdiyana, sembari mengingat-ingat kejadian di tahun 2002 silam itu.
Bom ikan. Adalah kalimat yang identik dengan warga di Kecamatan Pulau Sembilan, khususnya di awal tahun 2000-an. Bukan hanya kalangan orang tua atau orang dewasa yang berprofesi sebagai nelayan yang tahu menggunakannya. Anak-anak usia sekolah dasar pun sudah mampu menggunakannya di tengah laut. Semua dikenalkan oleh orang tua mereka.
“Saya masih ingat ketika baru pertama kali bertugas sebagai Kapolsek di Kecamatan Pulau Sembilan. Itu sekira tahun 2005. Salah satu persoalan di lapangan adalah maraknya aksi pemboman ikan. Dan mirisnya, anak-anak usia sekolah dasar saja sudah tahu menggunakan bom ikan,” beber Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Yantar, yang saat ini bertugas di Mapolres Sinjai. Saat menjadi Kapolsek di Kecamatan Pulau Sembilan, ia baru berpangkat Bripka.
“Bahkan saat awal saya bertugas, ada anak yang tangannya putus akibat terkena bom ikan. Terus saya berpikir bahwa peristiwa ini tidak boleh terulang dan harus ada solusinya,” tuturnya. Selain aktif berpatroli, Yantar juga mendatangi tokoh agama dan tokoh masyarakat, dan mengajaknya berdiskusi guna menemukan solusi.
“Karakter orang-orang di pulau kan keras. Jadi semua model pendekatan kami sandingkan. Termasuk melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk melakukan sosialisasi dan penyuluhan, dan itu berhasil. Selama tiga tahun menjadi kapolsek terjadi penurunan aktifitas pemboman ikan di tengah laut,” jelas Yantar.
Keberhasilan Yantar mengurangi aktifitas pemboman ikan di tengah laut yang di dalamnya melibatkan anak-anak usia sekolah, diakui oleh salah satu tokoh masyarakat setempat, Syamsul Bahri.
Menurut mantan Ketua Karang Taruna Kecamatan Pulau Sembilan ini, dulu di Kambuno sangat sulit anak-anak diajak ke sekolah karena orang tuanya memang yang tidak mau.
Ia berkisah beberapa kali bersama Camat Pulau Sembilan ketika itu, Andi Tanhar, mendatangi rumah warga dan mengajak agar anak-anak mereka disekolahkan. Namun yang selalu ia temui hanya jawaban yang sama: Untuk apa ke sekolah, lebih baik mencari uang.
“Bahkan saat itu pak camat yang mau belikan baju sekolah, yang penting anaknya jangan diikutkan ke laut. Anaknya mau, tapi orang tuanya memang yang berkeras mengikutkan anaknya mencari ikan,”jelas Syamsul.
Tapi pola pikir orang tua seperti itu di Kecamatan Pulau Sembilan mulai mengalami pergeseran. Itu terjadi sejak tahun 2005 lalu, ketika pemerintah daerah di Kabupaten Sinjai mulai merintis pembangunan gedung SMP di Pulau Kambuno.
Langkah ini dilakukan agar murid SD yang tamat dapat langsung melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kemudian lima tahun berikutnya juga dibangun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Pulau Kambuno.
“Pembangunan gedung SMP dan SMK ini semakin menambah gairah anak-anak bersekolah. Kalau dulu kan salah satu alasan orang tua membawa anaknya ke laut selain mencari uang, juga karena mereka bilang percuma sekolah karena kalau tamat mau lanjut kemana,” ungkap Syamsul Bahri.
Terjadinya perubahan pola pikir orang tua, dan karakter anak-anak sekolah dasar di Pulau Kambuno semakin terasa ketika tahun 2016, di mana Pemerintah Kabupaten Sinjai melalui Dinas Pendidikan membuat program inovasi. Namanya programnya adalah ‘Tokoh Agama (toga), dan Tokoh Masyarakat (tomas) Masuk Sekolah, Insiprasi Anak Mancaji Macca’.
Setiap hari Sabtu, Toga dan Tomas secara bergiliran diberikan kesempatan mengajar di depan kelas. Ada yang memberikan ceramah, juga ada yang sifatnya sosialisasi.
“Program toga dan tomas masuk sekolah ini sangat bermanfaat, pak. Dan ini model pendekatan yang tepat diterapkan di Kecamatan Pulau Sembilan, yang karakter anak-anaknya umumnya keras dan susah diatur,” puji Hijrariani, Guru SD Negeri 15 Kambuno.
Hijrariani juga menuturkan bahwa setiap hari Sabtu, yang datang memberikan bimbingan biasanya dari Kementerian Agama, kepolisian, TNI, dan tokoh masyarakat Pulau Kambuno. “Jadi jangan heran ketika menemukan kondisi di mana anak-anak kami di Pulau Kambuno mengalami perubahan karakter yang luar biasa. Yang sebelumnya berkarakter keras dan susah diatur, kini menjadi pribadi yang santun dan berakhlak mulia,” ungkapnya meyakinkan.
Program Toga dan Tomas masuk sekolah juga direspon positif Kepala SDN 126 Kambuno, Sirajuddin. Ia yang memiliki jumlah murid sebanyak 207 orang, ini sangat terbantu dengan adanya program tersebut karena mampu mengubah karakter peserta didiknya.
Kalau sekarang menurutnya pendidikan karakter diintegrasikan dalam mata pelajaran. Maka melalui program Toga dan Tomas masuk sekolah, pendidikan karakter bisa lebih maksimal karena menghadirkan mereka yang memiliki kompetensi pada bidangnya masing-masing.
“Alhamdulillah sekarang tidak ada lagi kita temui anak-anak yang ikut bapaknya pergi mencari ikan di laut pada hari sekolah. Mereka makin bergairah ke sekolah. Adapun masalah klasik yang kami temui pada diri satu-dua anak, hanya persoalan disiplin waktu seperti terlambat ke sekolah karena disuruh orang tuanya membersihkan perahu,” tutur Sirajuddin yang sudah 29 tahun mengajar di Kecamatan Pulau Sembilan.
Inisiator program Toga dan Tomas Masuk Sekolah Insipirasi Anak Mancaji Macca, adalah mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sinjai, Hj. Mas Ati. Pada tahun 2016 saat masih menjabat sebagai kepala dinas, ia mencanangkan program ini dengan alasan ingin memaksimalkan pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Mengintegrasikan pendidikan karakter pada semua mata pelajaran menurutnya perlu ditopang dengan inovasi lain yang lebih membumi. “Jadi kami di dinas pendidikan ketika itu merancang program yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat, dengan memberi mereka kesempatan mengajar di sekolah pada hari tertentu. Harapannya agar akhlak, budi pekerti, dan kecerdasan anak-anak bisa lebih baik,” tutur Hj. Mas Ati yang di awal tahun 2017 menduduki jabatan baru sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB Kabupaten Sinjai.
Gayung bersambut. Inovasi ini mendapat respon positif dari Bupati Sinjai, H. Sabirin Yahya serta seluruh unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah. Malah katanya saat disosialisasikan ke Polres dan Kodim, Kapolres maupun Dandim langsung memerintahkan semua kapolsek dan Babinsa ikut berpartisipasi.
“Bapak Bupati dan unsur Forkopimda mengapresiasi program ini, karena sangat sejalan dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, di mana pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Sehingga pelibatan masyarakat dari unsur tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat penting artinya pada pelaksanaan program Mancaji Macca,” paparnya
Mancaji Macca (bugis,red) atau jika diIndonesiakan berarti ‘Menjadi Cerdas’, adalah akronim dari Membentuk Akhlak Anak, Cerdas, dan Berjiwa Mandiri dalam Menggapai Cita-Cita. Hingga kini program tersebut masih berjalan, dan diterapkan di kecamatan lainnya.
“Yang terpenting dari program ini selain pembentukan karakter peserta didik adalah lahirnya teladan. Tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tampil di kelas tentunya adalah sosok yang diharapkan menjadi teladan bagi anak-anak. Dengan demikian peserta didik akan termotivasi untuk mewujudkan cita-citanya. Mungkin ada yang ingin jadi Mubaligh, polisi, atau tentara,” jelas Mas Ati menutup pembicaraan.
Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Selain kemampuan akademik dan keterampilan, pendidikan juga mesti melahirkan insan-insan yang memiliki karakter mulia. (*)