Melestarikan Tradisi Maddui’ Aju di Kawasan Adat Karampuang

Untuk belajar nilai-nilai gotong-royong dan bagaimana membangun semangat kerja, datanglah ke kawasan adat Karampuang, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Untuk mengganti lesung di rumah adat saja, ada ratusan warga yang secara sukarela masuk ke hutan untuk menarik kayu yang akan dibuat lesung.

Laporan: Zainal Abidin Ridwan

Palungeng atau Lesung di rumah adat Karampuang sudah mulai lapuk. Sudah tidak maksimal lagi digunakan mengolah gabah menjadi beras. Bahkan suaranya sudah tak merdu saat ditumbuk menggunakan alu.

Akhirnya perangkat adat bersepakat untuk mengganti Lesung yang sudah digunakan sekira 30 tahun tersebut. Untuk proses pergantian Lesung, ada beberapa tahapan yang mesti dilakukan oleh Pinati yang merupakan perangkat adat. Salah satunya adalah Massellung Ale’.

Kayu untuk lesung yang ditarik dari dalam hutan, setelah melalui proses Massellung Ale’

Masselung Ale’ adalah proses menjelajahi hutan yang masih dalam kekuasaan adat untuk mencari kayu yang cocok dijadikan Lesung. Jika kayu yang dimaksud sudah ditemukan dan sesuai dengan yang dipersyaratkan adat, maka prosesi berikutnya adalah penentuan waktu untuk menarik kayu tersebut dari dalam hutan. Penentuan waktu dan perangkat-perangkat yang terlibat dibicarakan dalam rapat adat.

Setelah menemukan waktu yang mereka anggap memiliki kualitas, maka hasil rapat adat disampaikan ke masyarakat luas. Tidak butuh waktu banyak mengumpulkan ratusan warga yang ingin berpartisipasi pada prosesi Maddui’ Aju. Warga secara sukarela datang ketika sudah mengetahui jadwal acara.

Mereka yang datang berasal dari berbagai kelompok umur. Mulai dari anak-anak hingga orang tua. Ada yang berpostur kekar, pun ada yang berpenampilan biasa-biasa saja. Semua berbaur menjadi satu dan memiliki tujuan yang sama: menarik kayu dari hutan dan membawanya ke rumah adat.

Bukit dengan kemiringan 45 derajat adalah medan terberat yang mesti dilewati para Paddui’

Untuk menarik kayu dari dalam hutan bukan perkara biasa. Selain lokasinya yang jauh-sekira 1 kilometer dari rumah adat-, medan yang dilewati terbilang menantang. Kayu yang ditarik mesti melewati celah bebatuan, dan mendaki bukit dengan kemiringan 45 derajat.

Agar mudah menariknya, perangkat adat melubangi ujung kayu. Pada lubang ini kemudian dimasukkan ranting kayu berukuran besar yang disambung hingga mencapai panjang 50 meter. Ranting kayu yang ditarik ini disebut Hellareng

“Meski medannya berat, tapi terasa mudah dilewati karena ada lebih seratus orang warga yang menarik kayunya,” jelas Mansur, salah satu warga yang ikut berpartisipasi pada tradisi Maddui’ Aju, Sabtu (30/9/2017).

Kayu yang ditarik warga dari dalam hutan adalah jenis Cendana. Panjangnya kira-kira tujuh meter dengan ketebalan 50 sentimeter. Kayu jenis ini kata Mansur sangat cocok dibuat Lesung.

Puang Gella (berdiri di atas batu) saat menyanyikan syair Elong Paddui’ untuk menyemangati warga

Perangkat adat yang dipandu oleh Puang Gella, punya cara tersendiri untuk menyemangati warga yang dilanda keletihan saat menarik kayu. Ketika diminta untuk beristirahat sejenak, Puang Gella dibantu oleh perangkat adat lainnya menyanyikan syair-syair indah khas Maddui. Namanya elong Paddui’.

Ketika Puang Gella menyanyi, warga yang terhibur kemudian menggoyang-goyangkan Hellareng. Semangat mereka kembali muncul. Kekuatan fisik yang dipadu dengan kekuatan vokal elong paddui’ menyemangati mereka untuk mendaki bukit agar tiba tepat waktu di rumah adat.

“Syair padduik ini memiliki tingkat kesukaran tinggi, sebab harus disesuaikan dengan kondisi medan, waktu atau suasana apa yang dilewati termasuk kondisi Paddui atau warga yang menarik kayu. Namun yang pasti, elong paddui dibutuhkan untuk memompa semangat para paddui aju,” tutur Budayawan Sinjai, Muhannis yang ikut menyaksikan prosesi ini.

Tradisi Maddui’ bukan sekadar menarik kayu, atau syair elong paddui yang berguna untuk memompa semangat. Tradisi ini sudah menjadi wahana pertemuan di antara sesama pendukung budaya Karampuang ini.

“Bayangkan untuk mengganti palungeng saja butuh waktu hingga 30 tahun. Sehingga ketika tradisi ini dijalankan, mereka yang tidak pernah ketemu sebelumnya, dipertemukan di dalam hutan saat prosesi menarik kayu dilakukan,” tambah Muhannis.

Tingginya kebersamaan mereka dalam menjalankan tradisi ini adalah sebagai suatu ungkapan penghormatan dan rasa cintanya terhadap rumah adatnya yang dibangun, dipelihara dan dijaga bersama sebagai manifestasi dari rasa bangga mereka sebagai bagian dari pelestari budaya Karampuang.

Suatu kebahagiaan jika kayu yang ditarik bisa tiba di rumah adat

Tanpa ada yang diundang, tanpa didukung kepanitiaan, cukup dengan pesan berantai kepada seluruh komunitas adat, masyarakat akan datang dan mereka bahu membahu menjalankan tradisi maddui’ ini walau berlangsung sehari penuh.

Faktor gotong royong dan kerja sama yang mereka bangun tentunya dapat menjadi pelajaran, bagaimana kepercayaan kepada pemimpin dapat menyatukan langkah bersama demi cita-cita dan kemaslahatan bersama. (*)