Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi warga Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan yang diberi tugas menggarap Galung Arajang atau sawah kebesaran. Tidak perlu beli beras, dan beban hidup menjadi ringan.
Laporan: Zainal Abidin
Ronta, 48 tahun, sejak Januari 2017 harus mengubah kebiasaannya. Sebelumnya, tiap pukul 09.00 pagi, Puang Ronta—sapaan akrab warga Desa Tompobulu itu—masih duduk di teras rumah panggungnya sembari menyeruput kopi. Namun sejak Tomatoa—sebutan untuk kepala pemerintahan di kawasan adat Karampuang—memberinya tugas menggarap sawah kebesaran pada akhir Desember 2016 lalu, ia meninggalkan kebiasaannya; duduk berlama-lama di teras rumah.
“Karena sawah saya tak sampai satu are, maka tak masalah saya agak terlambat ke sawah. Menggarapnya tidak butuh waktu lama. Tapi saat Tomatoa memutuskan dan memberikan saya jatah tahun ini untuk menggarap sawah kebesaran, maka saya berangkat ke sawah lebih awal,” kata Puang Ronta saat berbincang dengan penulis di depan pintu masuk Kawasan Adat Karampuang, Sabtu (3/6/2017). Ia tampaknya bersiap pergi ke sawah. “Iyya mau ke sawah bersihkan gulma,” katanya singkat.
Beban Puang Ronta bertambah karena harus menggarap dua petak sawah; miliknya dan satu petak lagi amanah dari Tomatoa. “Beban kerja memang bertambah, tapi hasilnya juga untuk kami nikmati sekeluarga dan sebagian juga wajib kami bawa ke rumah adat” tambahnya.
Ia berharap hasil panen tahun ini melimpah dan bisa menjual hasilnya. Hasil penjualan beras ini akan digunakan membiayai sekolah anak-anaknya. “Saya baru pertama kali diberikan tugas menggarap sawah kebesaran. Saya berterima kasih kepada Tomatoa, yang sudah meringankan beban hidup kami dengan memberi kesempatan mengelola sawah adat,” tuturnya.
Kebahagiaan yang sama dirasakan Puang Kacong, 65 tahun. Tomatoa kembali memberinya hak garap untuk sawah kebesaran. Ia pernah mendapatkan sekali, tapi itu sudah lama sekali. Puang Kacong adalah pemangku adat di Karampuang. Pemangku adat hanya boleh diberikan tugas menggarap sawah kebesaran jika berada dalam kondisi kekurangan dari segi keuangan. Peruntukan sawah kebesaran lebih banyak untuk warga yang bukan pemangku adat, dan mereka yang berada di garis kemiskinan.
“Mungkin karena Tomatoa melihat kondisi keluarga saya sedang kesulitan, hingga akhirnya kembali meminta saya mengolah sawah kebesaran,” katanya, saat ditemui di rumahnya yang hanya berjarak 500 meter dari pintu gerbang kawasan adat Karampuang. Saat ditemui, Puang Kacong kurang enak badan. “Saya masih sakit. Untuk sementara Galung Arajang dikerja anak saya, Saleh,” ungkapnya.
Saleh, 26 tahun, membenarkan. Ia diserahi tugas ayahnya untuk menggarap sawah kebesaran. “Ada banyak sawah kebesaran, namun yang kami kerja atas amanah Tomatoa seluas satu petak. Jika cuaca baik dan tidak ada hama, maka gabah yang dihasilkan bisa mencapai enam karung besar,” tuturnya.
Galung Arajang atau sawah kebesaran yang berada di kawasan adat Karampuang terdiri dari dua jenis. Ada sawah tadah hujan dan ada sawah yang mengandalkan pengairan. Galung Arajang dapat dipanen selama dua kali setahun.
Menurut Puang Mangga’, pemangku adat Karampuang lainnya, penentuan siapa yang mengerjakan sawah tadah hujan, atau sawah pengairan merupakan otoritas Tomatoa. “Siapa yang kerja galung arajang itu tergantung Tomatoa,” kata Puang Mangga’ singkat.
Ia juga mengungkap bahwa kadang ada warga yang dapat jatah setiap tahunnya. “Tapi itu digilir. Jika tahun lalu menggarap sawah tadah hujan, maka tahun ini menggarap sawah pengairan. Jadi tergantung Tomatoa,” ungkapnya
Bagi tokoh pemuda Desa Tompobulu, Haris, tradisi budaya di kampungnya khususnya tradisi penunjukan hak garap sawah kebesaran harus dilestarikan. “Kalau dihilangkan justru akan menyebabkan Tomatoa kehilangan kepercayaan dari masyarakat,” kata Haris, yang rumahnya hanya berjarak sekira 100 meter dari Rumah Adat Karampuang.
Budayawan Sinjai, Muhannis berani menjamin pengelolaan galung arajang akan tetap dipertahankan. Hal ini karena galung arajang adalah simbol kebesaran masyarakat adat Karampuang, dan mereka sangat mensakralkan.
“Ada dua simbol arajang atau simbol kebesaran di Karampuang. Yang pertama adalah arajang dalam bentuk naskah lontara yang mereka sakralkan karena berisi sejarah Karampuang. Naskah lontara ini tersimpan dalam bambu dengan ukuran panjang sekira tiga meter. Yang kedua adalah arajang berupa sawah seluas 12 hektar yang hak pengelolaan serta pembagiannya berada di tangan Tomatoa,” tutur Muhannis.
Muhannis telah melakukan penelitian di kawasan adat Karampuang selama 20 tahun lebih. Saat itu ia masih berstatus guru aktif di SMA 1 Sinjai. Kini ia bertugas sebagai pengawas sekolah. Karena keuletannya meneliti, ia pernah diberi kesempatan membaca Lontara Arajang Karampuang.
Dalam lontara tersebut jelasnya, disebutkan bahwa galung arajang di Karampuang terdiri atas tiga bagian, yang pertama adalah Galung Arajang Arung. Ini adalah sawah yang pengelolaannya merupakan hak mutlak Tomatoa, dan tidak boleh diberikan kepada orang lain. Yang kedua adalah Galung Hara-hara, yang pengelolaannya dikhususkan untuk keluarga pemangku adat termasuk Tomatoa beserta pembantu-pembantunya.
“Galung yang ketiga adalah Galung Accapengngeng. Sawah ini diperuntukkan kepada orang miskin serta mereka yang kesusahan, orang yang terkena bencana, orang yang terlilit utang, termasuk para pendatang dan menetap dalam jangka waktu yang lama di Karampuang. Asal para pendatang ini bersikap jujur dan patuh aturan adat,” tambah Muhannis.
Menurut budayawan Sinjai ini, arajang berupa sawah yang pembagiannya diatur secara adil oleh Tomatoa adalah bukti masih terjaganya sifat kesetiakawanan sosial di kawasan adat Karampuang.
“Di kawasan adat Karampuang yang jaraknya 30 kilometer dari pusat kota Sinjai, ini akan sulit kita menemukan terjadinya kesenjangan sosial. Mereka yang miskin atau kesusahan akan diberikan jatah untuk mengelola sawah dan hasilnya untuk mereka juga. Tomatoa mengerti kondisi masyarakatnya.” pungkasnya.
Kearifan lokal berupa Galung Arajang yang masih terjaga di kawasan adat Karampuang, tentu sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan kepada peserta Rapat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia, Rabu (16/12/2016) lalu.
Ia tidak ingin terjadi kemiskinan dan kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat. “Kemiskinan dan kesenjangan sosial, berbahaya dan jadi bahan bakar konflik sosial, separatis, radikalisme, ekstrimisme, hingga terorisme,” kata Presiden Jokowi saat itu. Begitu pentingnya merawat kearifan lokal yang ada di tanah air tercinta; Indonesia. (*)