Oleh: Muhlis Pasakai (Imam Masjid Nurul Iman Tangka Mas Sinjai)
Proklamasi kemerdekaan adalah buah dari strategi dan otak tokoh-tokoh perjuangan yang dimotori oleh tokoh-tokoh Islam. Demikian pernyataan sejarawan Anhar Gonggong yang dikutip dalam Majalah Islam Sabili edisi khusus Juli 2004.
Meskipun sebagai pemilik saham kemerdekaan Republik Indonesia, dalam perjalanannya umat Islam telah beberapa kali “mengalah” demi keutuhan NKRI. Golongan Islam berkompromi di BPUPKI menerima Pancasila sebagai dasar negara. Selanjutnya juga menerima perubahan bunyi “Berdasarkan Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Fraksi Islam juga gagal pada Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 untuk memperjuangkan agar Indonesia berbentuk Negara Islam.
Pancasila dan NKRI Bagi Umat Islam
Sebagai penduduk mayoritas, pandangan umat Islam di Indonesia terhadap Pancasila dan NKRI mengambil peran penting dalam menjaga keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia yang didirikan pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta telah memutuskan tentang Masail Asasiyah Wathaniyah pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II di Gontor pada tahun 2006 dengan salah satu ketetapannya adalah Peneguhan Bentuk dan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam ketetapan tersebut antara lain menyebutkan bahwa umat Islam wajib memelihara keutuhan NKRI dan menjaga dari segala bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan dan upaya pemisahan diri (separatisme), upaya pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa Indonesia dan pemisahan diri dari NKRI dalam pandangan Islam termasuk bughat yang hukumnya haram dan wajib diperangi oleh Negara.
Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia yang lahir pada 18 November 1912 yang telah menjadi kekuatan nasional serta berjuang dalam pergerakan kemerdekaan, pada Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 memutuskan Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah. Muhammadiyah memandang bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam).
Bagi Muhammadiyah, segenap umat Islam harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai dar al-syahadah atau Negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan. Muhammadiyah sebagai kekuatan strategis umat dan bangsa berkomitmen untuk membangun Negara Pancasila dengan pandangan Islam yang berkemajuan. Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, Muhammadiyah bertekad berjuang di Negara Pancasila menuju Indonesia Berkemajuan sesuai dengan Kepribadiannya.
Nahdlatul Ulama yang lahir dari kalangan pesantren pada 31 Januari 1926 di bawah pimpinan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar, pada Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya tahun 1994 di antaranya memutuskan tentang Pandangan dan Tanggung Jawab NU Terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan. Di dalamnya dijelaskan bahwa Negara Indonesia bagi umat Islam Indonesia wajib dipelihara dan dikembangkan.
Pancasila Bukan Agama, tetapi Selaras dengan Ajaran Islam
Kendatipun umat Islam Indonesia memiliki pandangan yang sangat positif terhadap Pancasila yang direpresentasikan melalui organisasi keagamaan, namun Pancasila tetap harus diletakkan secara jelas dan proporsional dalam hubungan antara agama dengan Negara.
Dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-47, secara eksplisit dijelaskan bahwa Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo pada tahun 1983 juga telah memutuskan tentang Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926, dengan salah satu ketetapannya adalah Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dalam ketetapan tersebut dijelaskan bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Dijelaskan pula bahwa sebagai konsekuensi dari pandangan tersebut, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Sebagai bentuk penyelarasan antara Pancasila dengan ajaran Islam, Departemen Agama RI di masa Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara pernah menerbitkan buku Pedoman Pelaksanaan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) Bagi Umat Islam yang berisi tentang dalil-dalil Al-Qur’an yang relevan di setiap sila dalam Pancasila. Menteri Agama RI dalam sambutannya pada buku tersebut menjelaskan bahwa pada hakikatnya umat beragama dengan melaksanakan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya, berarti telah melaksanakan makna dari seluruh Pancasila itu sendiri.
Haji Agus Salim pernah menulis, “Sebagai salah seorang yang turut serta membuat rencana pernyataan Kemerdekaan sebagai pendahuluan (preambule) rencana Undang-undang Dasar kita yang pertama di dalam Majlis Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) di masa akhir-akhir kekuasaan Jepang, saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorangpun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan ‘aqidah,…”.
Kesimpulannya adalah Islam dengan Pancasila bukanlah entitas yang kontraproduktif. Umat Islam bukanlah masyarakat yang anti Pancasila dan NKRI, justru umat Islam melalui berbagai wadahnya telah memproklamirkan secara terbuka tentang kewajiban menjaga dan mendukung Pancasila dan NKRI. Oleh karena itu, tidak sepatutnya Islam di Indonesia dicitrakan sebagai agama yang menjadi ancaman bagi Pancasila, atau dicurigai sebagai ideologi yang akan merongrong keutuhan NKRI.
Jika terdapat orang atau sekelompok orang Islam yang melakukan tindakan teror yang mengancam keutuhan NKRI, tidaklah memadai untuk dijadikan sebagai representasi utama umat Islam Indonesia untuk melabel Islam dengan berbagai stereotip yang negatif. Tuduhan-tuduhan dan labeling yang menggeneralisasi Islam dengan konotasi buruk hanya akan menyakiti umat Islam, seakan-akan anak tiri dari ibu kandungnya sendiri yang selalu mendapat perlakuan diskriminasi dan intimidasi. Padahal, bagaimanapun, semangat dan ruh Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan bahkan menjadi lokomotor dari sejarah perjalanan bangsa ini.
“Islam merupakan tenaga pembangkit dan pengembang nasionalisme Indonesia”, tulis Harun Nasution dalam tesisnya yang berjudul The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and Theory of the Masyumi.
Allahu A’lam bi al-Shawab.
* Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis