Memaknai HAN di Tengah Pandemi Covid-19

Memaknai HAN di Tengah Pandemi Covid-19

Penulis: Kasdiawati*

Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini menjadi momentum tidak hanya sekadar mendorong peningkatan hak-hak anak, tetapi juga perlindungan terhadap anak”.

Pandemi COVID-19 tidak hanya memberi pengaruh terhadap orang dewasa tetapi juga terhadap anak-anak, baik secara fisik maupun psikis. Bonus demografi yang dialami negara tercinta kita menempatkan jumlah usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif, yaitu lebih dari 68 persen dari total populasi. Bagaimana dengan usia anak-anak 0-14 tahun? Mencapai 66,17 juta jiwa atau sekitar 24,8 persen dari total populasi.

Mengutip sebuah artikel dari Kompas (21/7), Menteri Pendayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan anak-anak Indonesia sedang mengalami masa sulit di tengah pandemi, di mana anak-anak tak bisa pergi ke sekolah, bertemu teman-teman dan guru, dan tidak bisa bermain di luar rumah karena harus berjarak sementara waktu.

Membaca sekilas artikel tersebut, mengingatkan akan timeline Facebook maupun status di WhatsApp yang beberapa hari ini dipenuhi dengan curhatan para ibu mendampingi anak-anak Study From Home (SFH) di awal tahun ajaran baru.

Posisi ibu yang harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sambil mendampingi anak-anak belajar tentu bukan perkara mudah, apalagi jika seorang ibu terikat dengan jam kantor atau aktifitas di luar rumah lainnya.

Berat? Pastinya. Dilema? Bisa jadi pula. Pastilah pemikiran para ibu akan berakhir dengan harapan pandemi ini segera berakhir.
Sebagai ibu, saya tak dapat merasakan apa yang dialami langsung oleh para ibu mengingat bahwa kondisi saat ini yang berjarak dengan anak-anak.

Namun, hal tersebut menjadikan saya berusaha memahami dan memaknai, bahwa anak-anak mempunyai hak untuk itu. Belajar di rumah dalam kondisi tenang dan nyaman. Aktif memantau melalui WhatsApp kegiatan SFH anak-anak dan belajar menerapkan ilmu berkomunikasi menjadikan mereka nyaman mengungkapkan dan bertanya tentang tugas-tugas yang belum mereka pahami.

Di sisi lain, saya bersyukur. Jauh dari mereka membuat meminimalisir terjadinya tindakan fisik yang mungkin saja bisa terjadi ketika mendampingi anak-anak dalam situasi yang kurang kondusif. Katakanlah stress karena kondisi rumah yang berantakan, makanan yang belum tersedia atau janji di luar rumah yang harus ditunaikan di waktu yang sama.

Tindakan fisik tersebut jelas akan berpengaruh terhadap psikis anak.
Dalam komunikasi, leveling atau penyamarataan adalah salah satu langkah yang dilakukan untuk mempersuasif teman bicara kita. Membawa diri berada selevel atau di posisi yang sama secara horizontal dengan anak-anak memang tidak mudah.

Ego sektoral dalam diri sebagai orang tua, sebagai ibu yang harus dihormati harus disingkirkan jauh untuk sementara waktu. Mempelajari istilah kekinian dan menempatkan diri dalam sudut pandangnya, tidak menghakimi, memberi apresiasi atas capaian yang telah dilakukan adalah beberapa hal yang dapat dimaksimalkan.

Karena pada akhirnya, kenyamanan yang dirasakan anak-anak membuatnya semakin leluasa mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Hal ini tentu tidak kalah penting karena menurut Spesialis Perlindungan Anak dari Badan PBB untuk anak-anak (Unicef), Ali Aulia Ramly, anak-anak rentan mengalami tekanan akibat pandemi COVID-19. Tekanan kian berat dengan pembatasan sosial yang mengharuskan anak berada di rumah.

Hari Anak Nasional tahun ini, mengingatkan kita sebagai orang tua untuk lebih meningkatkan perhatian kepada anak-anak, melindungi mereka dari kekerasan fisik dan psikis maupun seksual. Memenuhi kebutuhan anak-anak secara maksimal di masa pandemi diharapkan dapat meminimalisir tekanan psikososial yang mereka rasakan. (*)

 

*Penulis adalah Seorang ibu, Abdi Negara, penerima Awardee Beasiswa S2 Dalam Negeri Kominfo. Sekarang lagi berjuang meraih gelar master di bidang Ilmu Komunikasi Unhas.

*Isi menjadi tanggungjawab penulis