(Bagian Kesatu)
Masyarakat Sinjai dengan penduduknya yang semuanya beragama Islam, adalah merupakan salah satu daerah yang termasuk cepat menerima Islam dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan sesaat setelah Islam itu mulai diperkenalkan oleh para penganjur Islam dari Sumatera tepatnya dari Minangkabau.
Penyebabnya adalah karena Sinjai secara geografis dekat dengan dengan Bulukumba yang merupakan basis penyiaran islam yang dimotori oleh Datuk Tiro, yang berhasil mengislamkan Raja Tiro Launru Daeng biasa, cucu dari Karaeng Samparaja Daeng malaja atau lebih populer disebut Karaeng Sapohatu pada tahun 1606, dengan Gowa yang merupakan basis penyiaran agama Islam oleh Datuk Ri Bandang yang telah mengislamkan raja-raja Gowa tahun 1605.
Sinjai terasa sangat dekat karena hubungan darah antara Gowa dengan Bulo-bulo. Hubungan darah ini ialah karena La Pateddungi yang menikah dengan We Tenricini putri dari Mangkubumi Tallo. Demikian pula dengan Luwuk karena kemegahan kerajaan Lamatti yang tidak bisa dipisahkan dengan Luwuk. Sehingga pada saat Islam diterima oleh La Patiware Daeng Parebbung pada tahun 1604 tentu saja merapatkan syiar itu ke daerah Sinjai.
Agama Islam yang saat ini telah dianut oleh masyarakat Sinjai sebenarnya adalah merupakan ajaran baru yang diperkenalkan belakangan, karena sebelumnya masyarakat Sinjai telah memiliki keparcayaan yaitu kepercayaan tradisional dengan pendukung yang mencakup wilayah yang luas. Pendukung-pendukung kepercayaan tradisional ini atau lebih populer disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, telah merasuk begitu dalam dan kuat dalam sanubari pendukungnya.
Begitu kuatnya, sehingga sampai hari ini aktivitas pendukungnya masih kerap kita saksikan dalam waktu-waktu tertentu, walau telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan menambah unsur-unsur yang berbau Islam. Dalam konsep pikiran mereka, dewa tertinggi disebut dengan pallohe yang berasal dari kata puang lohe atau yang berkuasa. Pallohe dibantu oleh beberapa dewa seperti dewata ri toli yang menguasai hutan, cinna gaue yang menguasai air, cinna bolong yang menguasai gunung, sangiaseri yang menguasai tanaman padi dll. Sehingga dalam menjalankan aktivitasnya sering kita mendengarkan istilah mattowana, massorong, mappanre, pallohe dll.
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, maka tradisi semacam ini telah berada diambang kepunahan seiring dengan semakin meningkatnya pemahaman Islam dikalangan penduduk Sinjai yang semakin agamis.Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan animisme itu telah lama sekali menjadi bagian penting dalam sanubari pendukungnya sehingga meninggalkan bukti-bukti arkeologis yang begitu banyak di Sinjai, mulai dari daerah pantai sampai ke puncak gunung. Bukti-bukti arkeologis itu memberikan indikasi begitu kuatnya pengaruh itu sehingga Sinjai dianggap merupakan gudang benda-benda arkeologis dengan situs-situsnya yang beragam.
Dalam ajaran tradisional, medium yang dijadikan sarana penghubung dengan leluhurnya adalah menggunakan benda-benda megalit. Untuk menjalankan ritusnya itu, maka leluhur-leluhur Sinjai telah membangun sarana ritualnya berupa dolmen, dakon, batu temu gelang, batu bergores, batu persembahan, menhir dll, yang ditemukan secara merata hampir diseluruh tempat di Sinjai.
Kemegahan sarana-sarana ritus itu sampai kini masih menjadi sesuatu yang dikeramatkan oleh masyarakat seperti pada situs Bulue ri Karampuang, Ale Tondong di AlehanuaE Tokka, Ale Bulo-Bulo di Huloe, Tallasa, Rombo, Akkitangessoe, Kompang, Turungan dll. Keberadaan benda-benda megalit tersebut tentu saja memberikan gambaran akan kepatuhan masyarakat dahulu kepada yang dipujanya.
Gambaran ini juga dapat dijadikan modal untuk beralih kepada kepercayaan baru yakni Islam. Modal dasar keyakinan mereka pallohe tentu saja sangat berguna untuk memahami akan keyakinan yang baru, sebab salah satu faktor yang membuat masyarakat cepat beralih keyakinan adalah karena animisme dan dinamisme tidak mampu menjawab hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan atau hal-hal yang sifatnya metafisika.