Tasikolasi: Membangun Kembali Kepercayaan Terhadap Sekolah di Sinjai

Oleh: Ainani Hermansyah

Pemerintah Kabupaten Sinjai melalui Dinas Pendidikan meluncurkan sebuah inovasi digital bernama Tasikolasi, yang berarti Ayo Sekolah Lagi, sebagai bagian dari upaya sistematis menurunkan angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di wilayahnya.

Program ini beberapa kali dijelaskan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sinjai, Irwan Suaib, pada setiap pertemuan atau melalui saluran media yang ada.

Irwan Suaib memaparkan bahwa berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, angka ATS di Sinjai naik dari 8,14% pada 2021 menjadi 10,65% pada tahun 2022. Namun, data ini belum bersifat by name by address, sehingga belum bisa ditindaklanjuti secara langsung dan personal.

Maka dari itu, Dinas Pendidikan mengembangkan aplikasi Tasikolasi yang memungkinkan pendataan ATS secara rinci dan real-time di seluruh kecamatan. Langkah ini menjadi dasar bagi intervensi pendidikan yang lebih efektif dan tepat sasaran.

Sebagai warga yang turut merasakan denyut kehidupan pendidikan di Sinjai, saya memandang bahwa hadirnya Tasikolasi bukan sekadar program digital, tetapi sinyal penting bahwa pemerintah mulai menyentuh akar masalah pendidikan yang selama ini terabaikan: krisis kepercayaan terhadap makna sekolah.

Ada tiga persoalan utama yang menurut saya menjadi penyebab anak-anak menjauh dari pendidikan formal:
1. Krisis Makna Pendidikan: Antara Ijazah dan Kehidupan.
Salah satu penyebab utama meningkatnya jumlah anak yang tidak bersekolah adalah krisis keyakinan terhadap fungsi pendidikan. Namun yang hilang sebenarnya bukan keyakinan pada ilmu, melainkan keyakinan pada sistem dan arah pendidikan saat ini.

Masyarakat tidak lagi melihat sekolah sebagai tempat yang bermakna karena pendidikan telah direduksi menjadi sekadar jalur mencari pekerjaan. Ketika pekerjaan sulit ditemukan, maka sekolah pun dianggap tak berguna.

Ini sebenarnya bukan semata-mata salah masyarakat. Ini cerminan dari kerangka berpikir sistemik yang menjadikan manusia sekadar sumber daya ekonomi yang nilainya diukur berdasarkan ijazah, bukan kemampuan hidup, berpikir, atau mengelola diri. Maka tak heran, ketika ekonomi tidak menjanjikan, orang tua pun bertanya: “Untuk apa sekolah kalau tetap miskin?”

Padahal jika kita kembali ke hakikat pendidikan, sekolah bukanlah tempat mencetak buruh profesional, melainkan tempat membentuk manusia yang berpikir, berakhlak, dan mampu menyelesaikan masalah hidupnya dengan bijak.

Pendidikan seharusnya membuat anak-anak kita menjadi pribadi yang utuh yang bukan hanya mampu bekerja, tetapi juga mampu menghidupi dirinya, memahami nilai hidup, dan bersikap adil dalam menghadapi tantangan dunia.

Perspektif agama pun tidak menjadikan ekonomi sebagai satu-satunya indikator derajat. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Ayat ini tidak membatasi derajat pada posisi sosial atau pendapatan ekonomi. Yang ditinggikan adalah kedalaman iman dan keluasan ilmu, yang kemudian mewujud dalam kematangan berpikir, kebijaksanaan dalam hidup, dan kebermanfaatan bagi sesama.

Maka, fungsi pendidikan seharusnya dikembalikan ke makna aslinya: sebagai alat pembentuk manusia, bukan alat transaksi ekonomi. Jika pemaknaan ini dikembalikan, masyarakat akan lebih memahami bahwa menyekolahkan anak bukanlah ‘investasi kerja’, melainkan amanah untuk mencerdaskan generasi dan memanusiakan manusia.

Jika kita ingin mendorong anak kembali ke sekolah melalui program seperti Tasikolasi, maka yang perlu dibangun bukan hanya infrastrukturnya, tetapi juga cara pandang kita tentang makna pendidikan itu sendiri.

Termasuk didalamnya adalah mengembalikan semangat itu bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi tangga untuk naik derajat, baik secara sosial maupun spiritual sebagaimana pernah dinyatakan langsung oleh seorang ahli pendidikan Indonesia, Prof. Suyanto (Mantan Dirjen Mandikdasmen), bahwa:
“Masalah pendidikan kita bukan hanya kurikulum dan fasilitas, tapi soal membangun keyakinan masyarakat bahwa sekolah itu berarti bagi hidup mereka.”.

2. Minimnya Inovasi Guru akibat Rendahnya Dukungan.
Saya melihat bahwa salah satu penyebab lemahnya semangat belajar adalah proses pembelajaran yang kaku dan membosankan. Banyak guru belum mampu menyuguhkan pembelajaran yang kreatif dan relevan. Namun, ini bukan semata kesalahan guru. Kita harus jujur bahwa kesejahteraan guru masih jauh dari layak, terutama guru honorer.

Guru dalam Islam dimuliakan sebagai pewaris para nabi:
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud)
Ini bukan hanya tentang ulama agama, tetapi semua yang mengabdikan diri dalam proses menumbuhkan akal dan adab anak bangsa. Maka, jika kita ingin pendidikan kita memanusiakan manusia, kita harus terlebih dahulu memanusiakan para guru.

Jika guru tidak dihargai secara sosial maupun finansial, maka sulit bagi mereka untuk menyalakan semangat belajar siswa. Program seperti Tasikolasi harus berjalan beriringan dengan penguatan kapasitas guru dan kebijakan penghargaan yang adil. Kita butuh guru yang menyala, bukan yang padam oleh beban hidup.

3. Sekolah Masih Dipersepsikan sebagai Hal yang Mahal.
Banyak orang tua mengeluhkan bahwa sekolah tetap terasa mahal bukan dari SPP, tetapi dari biaya tidak langsung seperti seragam, alat tulis, transportasi, hingga sumbangan. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga kurang mampu seringkali diprioritaskan untuk membantu ekonomi keluarga ketimbang kembali duduk di bangku sekolah.
Padahal Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak ada pemberian dari orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Pendidikan adalah hadiah terbaik, bukan beban. Gerakan sosial harus mendukung Tasikolasi dengan menciptakan ekosistem beasiswa lokal, infaq pendidikan, sekolah komunitas, dan dukungan logistik lainnya. Kita semua punya andil dalam meringankan beban anak-anak untuk mengakses ilmu.

Kata kunci di sini adalah pendidikan yang baik yakni pendidikan yang tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga menyentuh kebutuhan anak: kebutuhan akan bimbingan, pengakuan, arah hidup, dan keterampilan berpikir.

Jika sekolah bisa hadir seperti itu, maka persepsi ‘mahal’ tidak akan lagi jadi penghalang. Karena orang tua akan melihat: ini bukan soal ongkos, tapi soal masa depan.Aplikasi Tasikolasi juga merupakan langkah maju. Ia mengubah pendekatan lama yang berbasis angka makro, menjadi kebijakan berbasis manusia nyata. Dengan data by name by address, Pemkab Sinjai berpeluang besar melakukan intervensi pendidikan yang personal, humanis, dan terukur.

Namun, keberhasilan Tasikolasi tidak cukup hanya dilihat dari banyaknya anak yang kembali duduk di kelas. Kita harus bertanya lebih jauh: Apakah mereka merasa aman di kelas? Apakah guru menyambut mereka dengan cinta? Apakah mereka mendapatkan alasan untuk tetap bermimpi?.

Sebagai penutup dari saya sebagai penulis yang yakin bahwa tugas kita hari ini bukan sekadar mengajak anak kembali ke sekolah, tetapi membangun kembali kepercayaan masyarakat bahwa pendidikan masih layak diperjuangkan.

Kita perlu menciptakan ruang belajar yang tidak hanya mengajarkan rumus dan hafalan, tetapi yang menyalakan harapan. Kita butuh sistem yang menghargai potensi setiap anak, bukan hanya nilai rapor dan ijazahnya. Kita perlu membangun kembali narasi bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi tangga untuk naik derajat, baik secara sosial maupun spiritual.

Karena itu, program seperti Tasikolasi sangat strategis, tapi tidak akan cukup jika hanya menjadi program teknis. Ia harus diikuti dengan kampanye kesadaran bahwa ilmu itu cahaya, dan pendidikan adalah jalan untuk menjemput cahaya itu meskipun jalannya sulit, walau jalurnya terjal.

Mari jadikan Tasikolasi bukan sekadar aplikasi, tetapi gerakan sosial dan spiritual untuk menghidupkan kembali kepercayaan pada pendidikan. Karena setiap anak berhak bermimpi, dan sekolah adalah tempat di mana mimpi-mimpi itu bisa tumbuh dengan cahaya.

Program seperti Tasikolasi menjadi pintu masuk penting. Tapi ia harus lebih dari sekadar aplikasi. Ia harus menjelma sebagai gerakan yang menyentuh hati: menghidupkan cerita-cerita keberhasilan pendidikan, memperlihatkan peran guru sebagai pelita, dan memposisikan sekolah sebagai tempat yang mengangkat, bukan membebani.

Saya percaya, bahwa pendidikan tetap menjadi kunci perubahan. Tapi perubahan hanya bisa terjadi jika rakyat percaya, bahwa kunci itu benar-benar bisa membuka pintu masa depan mereka. Maka mari kita bangun sekolah yang tidak hanya mengajarkan pelajaran, nilai dan etika tetapi juga mengajarkan harapan dan langkah untuk mewujudkannya secara nyata.

*Isi artikel menjadi tanggungjawab penulis