Ustaz Berpolitik, Salahkah?

Muhlis Pasakai

Penulis: Muhlis Pasakai (Imam Masjid Nurul Iman Tangka Mas)

Istilah “ustaz berpolitik” kerap kali dipersepsikan negatif sehingga kadang sebagian orang tidak bersimpati pada figur ustaz yang (akan) terlibat politik.

Term “ustaz berpolitik” sebenarnya masih membutuhkan pengertian yang spesifik. Apakah ustaz yang dimaksud adalah pengurus ormas Islam, pembina pondok pesantren, penceramah, guru mengaji, penyuluh agama, imam masjid, alumni pesantren, guru agama, penyelenggara jenazah, tukang azan, peruqiyah, atau siapa?.

Walaupun kata “ustaz” ini akrab dikenal sebagai bahasa Arab, tetapi sebenarnya kata ini adalah a’jamiyyah atau kata asing (non-Arab) yang diserap ke dalam bahasa Arab yang dikenal dengan istilah mua’rrab (kosakata yang diambil atau diserap dari bahasa ajam (asing) ke dalam bahasa Arab). Dalam kamus  Arab-Indonesia sendiri, seperti Kamus Mahmud Yunus, kata “ustazun” diartikan sebagai “guru”, juga “guru besar”, makanya istilah al-ustaz al-duktur juga berarti Profesor Doktor (Prof.Dr.). Arti tersebut pada dasarnya sama dengan yang terdapat pada aplikasi-aplikasi kamus Arab yang berbasis android seperti Almaany. Sementara dalam KBBI, kata “ustaz” diartikan sebagai guru agama. Dalam lingkungan pesantren, kata “ustaz” biasanya digunakan sebagai panggilan untuk guru, atau “ustazah” bagi guru perempuan, walaupun guru tersebut bukanlah guru yang mengajarkan mata pelajaran agama.

Dalam kamus-kamus Arab, kata “ustaz” sebenarnya dimaknai lebih luas, tidak hanya pada bidang agama (Islam). Misalnya dalam al-Mu’jam al-Wasith, “al-ustaz” diartikan sebagai orang yang mahir atau terampil dalam hal manufaktur dan mengajarkannya kepada orang lain. Begitu juga dalam Mu’jam Matn al-Lugah, Mausuah Lughawiyah Haditsah, kata “al-ustaz” diartikan sebagai orang yang mahir atau eksper pada bidang yang besar. Berdasarkan pengertian tersebut, kata “ustaz” bisa dialamatkan kepada orang yang ahli, walaupun bukan dalam masalah agama.

Perubahan makna pada kata khususnya kata serapan, baik maknanya meluas, menyempit, maupun berubah sama sekali adalah hal yang biasa terjadi dalam bahasa. Begitu pula dengan kata “ustaz”. Dalam konteks Indonesia, siapapun yang bergelut dalam bidang agama (Islam) dan orang-orang memanggilnya “ustaz”, maka itulah yang disebut ustaz. Oleh karena itu, masyarakat sudah terbiasa menyematkan panggilan “ustaz” mulai dari tokoh agama yang memang latar belakang pendidikan formalnya agama sampai pada yang hanya mengikuti kajian-kajian kendatipun pendidikannya bukan agama, bahkan saat ini sebagian orang menjadikan panggilan “ustaz” sebagai sapaan keakraban dengan menambah kata ganti -ku menjadi “ustazku”.

Kata “berpolitik” juga perlu diperinci karena politik adalah aktivitas yang sangat luas. Najwa Shihab pernah mengatakan dalam talkshow menyambut ulang tahun ke-10 BINUS TV tahun 2019 bahwa politik itu adalah setiap hal yang menyangkut hidup manusia, mulai dari belum lahir sampai ke liang lahad. Menurutnya, seluruh aspek dari kehidupan manusia diatur oleh politik jika kita  melihat politik sebagai rangkaian kebijakan publik. Persis dalam Yusa Djuyandi (2017) yang menyebut bahwa politik memengaruhi hidup semua orang. Aristoteles menyebutnya master of science, karena dimensi politik memengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Jika politik yang dimaksud seperti ini, tentu dengan sendirinya semua warga negara berpolitik, tak terkecuali orang yang disebut ustaz.
`
Walaupun politik menyentuh semua lapisan masyarakat, tetapi partisipasi warga negara dalam politik memiliki tingkatan atau hierarki. Dalam hierarki partisipasi politik, menurut Michael Rush dan Phillip Althoff (2020) tingkatan terendah adalah voting atau pemberian suara. Keterlibatan seorang ustaz dalam politik sebatas menyalurkan hak pilih dan melaksanakan kebijakan pemerintah tentu bukanlah yang sering dipersepsikan secara negatif, kecuali oleh orang atau kelompok yang memang mengharamkan praktik demokrasi secara mutlak.

Bentuk partisipasi politik yang dilakukan seorang ustaz pada level hendak menduduki jabatan politik, menjadi pengurus partai politik, atau menjadi tim sukseslah yang sering dipandang tidak cocok oleh sebagian orang.

Apakah salah jika seorang ustaz sekaligus menjadi politisi? Secara norma hukum tentu tidak, karena hak politik adalah hak yang dimiliki setiap orang yang diberikan oleh hukum. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk ikut terlibat dalam proses politik, termasuk meraih kekuasaan. Hal tersebut dijamin dan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya pada Pasal 28D Ayat 3 UUD 1945 berbunyi setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Begitu pula dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 43 Ayat 1 berbunyi setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk menjamin hak-hak sipil dan politik, Indonesia juga meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) atau ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR Tanggal 28 Oktober 2005. Lebih lanjut hak dan kewajiban warga negara dalam politik diatur dalam berbagai perangkat aturan, seperti UU Pemilu, PKPU, Perbawaslu, dan lain-lain. Semua perangkat aturan tersebut tidak membedakan secara khusus antara ustaz atau bukan. Artinya, klir dari aspek norma hukum tidak ada yang salah jika seorang ustaz menjadi politisi, selama tidak sekaligus menyandang status lain yang dikecualikan seperti berprofesi ASN.

Bagaimana dalam pandangan syariat Islam?. Keterlibatan secara umum kaum muslimin pada praktik politik demokrasi menurut Rapung Samuddin (2021) terbagi menjadi 4 (empat) kelompok pendapat, yaitu kelompok yang menerima demokrasi dan produk-produknya secara mutlak, kelompok yang menolak secara mutlak, kelompok moderat yang menerima kandungan demokrasi yang sejalan dengan syariat dan menolak yang tidak sesuai, serta kelompok yang masih samar-samar karena mengharamkan demokrasi tetapi justru menerima dan mengawal hasil-hasil demokrasi. Meskipun demikian, mayoritas umat Islam di Indonesia ikut berpartisipasi dalam politik, minimal menyalurkan hak pilih.

Jika dari sudut pandang norma hukum dan syariat Islam sah-sah saja seorang ustaz menjadi politisi, lalu dengan pertimbangan apa orang mempersepsikan buruk jika seorang ustaz akan terjun dalam dunia politik praktis?

Walaupun politik memiliki definisi yang baik, tetapi orang yang meyakini atau memiliki pengalaman bahwa politik praktis itu kotor menganggap bahwa masuknya sosok ustaz ke dalam politik yang kotor itu akan menodai “kesucian” dan kewibawaannya yang sekaligus mencederai citra agama yang luhur karena ustaz merupakan simbol atau ikon agama (Islam).

Agak janggal sebenarnya pandangan seperti ini jika dianut oleh seorang politisi non-Ustaz, karena melarang orang lain terjatuh dalam sesuatu yang dianggapnya “kegelapan”, tetapi dia sendiri meneggelamkan diri ke dalamnya.

Pandangan yang berbeda sering dilontarkan orang-orang “agamis” yang (akan) terjun ke dunia politik dengan mengutip perkataan Recep Tayyip Erdogan yang sangat populer di media sosial bahwa jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya. Masuknya figur ustaz pada perhelatan politik praktis memang selalu dengan harapan dan aspirasi akan mewarnai dunia politik menjadi lebih “bersih”, walaupun pada kenyataannya kadang juga mengecewakan setelah tumbang dengan politik pragmatis atau luluh dirayu kekuasaan. Akhirnya orang mengatakan, “Sama saja”, atau dengan istilah “Semua akan Ngabalin pada waktunya”.

Walaupun dapat menimbulkan trauma akan politisi agamawan, menjauhkan figur ustaz dari gelanggang politik juga nampaknya tidak mungkin dilakukan di negara yang memiliki penduduk beragama Islam, apalagi terdapat partai politik yang memang berideologi Islam.

Walaupun relasi Islam dengan politik demokrasi khususnya varian liberal sering dianggap tidak kompatibel, tetapi seperti kata Nader Hashemi (2011) bahwa dalam masyarakat di mana agama menjadi simbol identitas, jalan demokrasi liberal harus melewati pintu politik agama. Menurutnya, demokratisasi membutuhkan reinterpretasi ide-ide keagamaan yang lebih kondusif untuk demokrasi liberal, dengan reinterpretasi ini kelompok agama akan memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi.

Jika ustaz atau tokoh agama ikut serta dalam kekuasaan, perlu juga mengelaborasi atau menguji temuan Ahmet T. Kuru (2023), bahwa ketertinggalan di banyak negara Muslim saat ini disebabkan oleh persekutuan ulama-negara. Menurutnya, ulama yang berkuasa  mempertahankan epistemologi yang kaku dalam agama sehingga menghalangi gagasan baru. Kekuasaan seperti ini dapat mendelegitimasi inovasi atau pemikiran kalangan intelektual yang berbeda dengan “corak” penafsiran atau pemahaman ulama yang berkuasa.

Selain itu, Kuru juga mencontohkan bahwa pada abad kemajuan Islam mayoritas ulama atau keluarganya bekerja di bidang perniagaan dan industri. Ia menyebut bahwa kemerdekaan para sarjana Islam dari pengaruh negara dan ekonomilah yang memungkinkan kemerdekaan berpikir bagi mereka. Artinya, jika seorang ustaz atau tokoh agama terlanjur nyaman di bawah “ketiak” penguasa, akan kehilangan kebebasan dalam berpikir dan berpendapat karena ia harus “berceramah” sesuai kepentingan “majikannya”.

Sebagai pertimbangan, seorang figur ustaz yang memilih jalan politik praktis sebaiknya menghindari penggunaan narasi agama untuk menyerang rival politiknya. Bicaralah tentang gagasan tema-tema publik seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, penegakan hukum, keadilan, kesehatan dan pemberdayaan serta pelayanan publik lainnya.

Ridwan Saidi (wafat 25 Desember 2022) pernah menceritakan pada program ILC TV One dengan tema “Rhoma Menggoyang SARA” tahun 2012 bahwa pada tahun 1977 ia memegang kendali kampanye PPP. Tema kampanye yang diusung adalah kemiskinan. Hasilnya menang di Jakarta, bahkan di tempat lokalisasi pun menang di 2 TPS. Tetapi pada tahun 1982 muncul juru kampanye yang membawa narasi bahwa yang tidak memilih PPP adalah kafir, maka pada saat itulah suara partai melorot. Kemenangan dan kekalahan dalam pemilu tentu disebabkan banyak faktor, tetapi apa yang disampaikan Ridwan Saidi ini juga bisa menjadi pelajaran.

Seorang ustaz yang merambah dunia politik harus dapat membedakan kapan ia berbicara tentang agama secara murni dalam posisinya sebagai ustaz dan kapan ia berbicara sebagai politisi, agar orang tidak menganggap ia hanya menjadikan agama sebagai komoditas politik. Hal ini tentu tidaklah mudah karena orang yang beragama akan selalu mengaitkan agama dengan seluruh sisi hidupnya, apalagi politik memang termuat juga dalam ajaran Islam, makanya karya-karya ulama tentang siyasah (politik) juga banyak. Ini juga tidak harus dimaknai memisahkan agama sama sekali dengan politik yang dilakoni seorang ustaz, tetapi lebih kepada teknik komunikasi politik untuk menjaga muruah agama, di antaranya dengan cara  jika berbicara tentang agama di ruang publik sebaiknya hindari topik yang rentan perbedaan dan mendiskreditkan kelompok, orang atau politisi yang lain, tetapi sampaikanlah tentang relevansi nilai-nilai Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan.

Dalam negara atau daerah yang menjunjung tinggi agama, diskursus tentang agama di ruang publik tidak bisa dihindari, bahkan biasanya “sedikit-sedikit” dikaitkan dengan agama, “apa-apa” dihubungkan dengan agama. Oleh karena itu, mustahil seorang tokoh politik yang memang tempatnya di ruang publik untuk menghindari kondisi ini. Jika publik sedang terbawa arus perbincangan politik dengan dialektika sudut pandang agama, seharusnya diskusi-diskusi itu dibawa pada perdebatan akademis secara terbuka yang dapat mengedukasi masyarakat, misalnya melalui dialog publik, seminar dan sejenisnya.

Pada akhirnya, ustaz atau bukan, kita tidak boleh sepenuhnya buta terhadap politik, jika benar kata Bertolt Brecht bahwa buta terburuk adalah buta politik.

Allahu A’lam bi al-Shawab