Oleh: Zainal Abidin
(Peneliti Sejarah Sinjai)
Benteng adalah bangunan militer. Dibuat untuk keperluan pertahanan saat terjadi peperangan. Benteng sudah dibangun oleh umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu dalam berbagai bentuk, dan pada akhirnya berkembang menjadi bentuk yang sangat kompleks. Di Indonesia, benteng yang masih ada saat ini umumnya merupakan peninggalan dari kolonialisme Eropa, terutama Belanda (wikipedia).
Di bumi nusantara ini banyak tinggalan arkeologi berupa benteng. Termasuk benteng bercorak kolonial, seperti Benteng Speelwijk (Jawa Barat), Vredenburg (Yogyakarta), Benteng Pendem (Jawa Tengah), Benteng Malborough, Fort York (Sumatra), Fort Oranje (Ternate), Fort Rotterdam (Makassar), dan Benteng Balangnipa (Sinjai).
Di Sulawesi Selatan, Fort Rotterdam dan Benteng Balangnipa, saat dikuasai Belanda digunakan untuk single main function dan multi main function atau fungsi politik-pemerintahan dan fungsi perdagangan/pelabuhan sekaligus pemerintahan. Keberadaan keduanya sangat strategis bagi upaya Belanda menguasai dan mengatur tatanan pemerintahan di wilayah jajahan, sekaligus hegemoni Belanda pada jalur perdagangan rempah dunia.
Pada 1667 Belanda menaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo, dan menghasilkan perjanjian Bongaya. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut mengharuskan seluruh benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan, kecuali benteng yang dibangun I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, yakni Benteng Rotterdam.
Perjanjian Bongaya juga berlaku pada kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Gowa, salah satunya adalah Kerajaan Tellu Limpoe di Sinjai. Aliansi Tiga Kerajaan Tellu Limpoe, yakni Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti harus bersusah payah menahan gempuran Belanda saat menyerang Sinjai meski pada akhirnya Belanda mampu menguasai Benteng Balangnipa yang dibangun Kerajaan Tellu Limpoe sejak 1557 tersebut.
Sama seperti Benteng Rotterdam, Belanda juga tidak menghancurkan Benteng Balangnipa dengan berbagai pertimbangan. Bahkan Belanda memugar benteng tersebut pada 1864, dengan konstruksi ala kolonial Belanda, seperti yang dapat disaksikan hingga saat ini. Pemugaran secara total dilakukan Belanda setelah memenangkan pertempuran Mangarabombang atau yang dikenal dengan Rumpa’na Mangarabombang. Mangarabombang adalah nama lokasi yang berada di pesisir pantai Sinjai.
Pertempuran tersebut meletus setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Der Capellan yang datang dari Batavia pada 1824, gagal membujuk Arung Bulo-Bulo XXI, I Cella. Saat itu Van Der Capellan meminta I Cella menerima perjanjian Bongaya, dan mengizinkan Belanda mendirikan Loji atau Kantor Perwakilan Dagang di daerah Lappa Sinjai, tetapi ditolak dengan tegas oleh Raja Bulo-Bulo tersebut.
Benteng Balangnipa, secara administratif berada di Lingkungan Tokinjong, Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai. Jarak Kabupaten Sinjai dari Kota Makassar, sekira 220 kilometer. Secara keseluruhan luas kompleks Benteng Balangnipa sekira 2.500 meter persegi .
Denah benteng berbentuk segi empat dengan bastion di setiap sudutnya. Panjang dinding sisi utara 49,45 meter, sisi barat 49,10 meter, sisi selatan 30,37 meter dan sisi timur 49,27 meter, dengan ketinggian 4 meter dan ketebalan antara 40-50 cm.
Di dalam kompleks Benteng Balangnipa, diidentifikasi terdapat beberapa bangunan utama seperti perkantoran, barak pasukan, penjara, gudang amunisi, serta gudang logistik dan rempah-rempah yang bersebelahan dengan dapur. Dua bangunan dapur yang bersebelahan dengan gudang rempah-rempah ini berada di samping kanan dan kiri pintu utama, dengan ukuran masing-masing 10 meter x 3 meter dan terbagi 3 petak.
Benteng Balangnipa sangat strategis karena menghadap utara ke arah Sungai Tangka yang bermuara di Teluk Bone, di mana Teluk Bone terletak di antara jazirah selatan dan tenggara Pulau Sulawesi. Posisi ini diincar Belanda untuk melengkapi dominasinya atas jalur perdagangan di Pulau Sulawesi yang memiliki empat jazirah dan tiga teluk. Selain Teluk Bone, terdapat Teluk Tomini di antara jazirah tenggara dan barat laut, dan Teluk Gorontalo di antara jazirah barat laut dan jazirah utara.
Setelah dikuasai Belanda, Benteng Balangnipa tidak hanya difungsikan sebagai benteng pertahanan. Mereka juga menjadikan Benteng Balangnipa sebagai basis pasukan untuk menyerang Kerajaan Bone yang berbatasan dengan Sinjai. Selain pertimbangan politik untuk menguasai Kerajaan Bone melalui jalur Sinjai, faktor ekonomi juga menjadi dasar kuat sehingga Benteng Balangnipa dikuasai oleh Belanda. Menguasai Benteng Balangnipa dan menaklukkan Kerajaan Bone akan mengukuhkan kekuatan ekonomi Hindia Belanda di Teluk Bone.
Sebagai langkah awal penguasaan Teluk Bone sebagai jalur perdagangan, Belanda melakukan upaya memperbesar aliran sungai di depan Benteng Balangnipa dengan membuat bendungan. Upaya tersebut dilakukan agar kapal-kapal yang lebih besar dapat masuk sampai ke depan Benteng Balangnipa. Aliran sungai yang diperlebar ini adalah anak Sungai Tangka. Sungai Tangka adalah sungai yang membatasi wilayah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, saat itu. Sungai Tangka memiliki panjang 120 kilometer dan lebar mencapai 75 meter, dan menghubungkan wilayah Teluk Bone dengan daerah pedalaman.
Dengan membuat bendungan dan memperlebar sungai di depan Benteng Balangnipa, akan memudahkan penyerangan Belanda ke Kerajaan Bone, untuk selanjutnya memantapkan penguasaan pada jalur ekonomi perdagangan. Oleh karenanya di dalam benteng terdapat beberapa fasilitas yang dapat mendukung fungsinya sebagai tempat bertahan dan berdagang. Di dalamnya terdapat bastion, lubang-lubang pengintaian, barak pasukan, gudang amunisi, gudang logistik dan sebagainya. Temuan artefaktual berupa mata uang, keramik asing, meskipun persentasenya sedikit, menunjukkan benteng juga berfungsi untuk kegiatan ekonomi (Sarjiyanto,2002).
Pada abad XVIII atau saat dalam penguasaan Belanda, Benteng Balangnipa berkembang menjadi pusat pertahanan sekaligus tempat penyimpanan komoditi Sinjai yang akan dipasarkan oleh Belanda ke berbagai daerah di nusantara. Sinjai juga berkembang menjadi lokasi dagang di kawasan Teluk Bone. Komoditi yang banyak ditemukan di Sinjai adalah Beras, Pala, Kemiri, Kopra, dan Jambu Mete. Namun sebelum dipasarkan, komoditi-komoditi tersebut lebih banyak dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda ke markas VOC di Batavia.
Ramainya perdagangan di Sinjai sangat memungkinkan berkembangnya beberapa pelabuhan kecil untuk menyalurkan produk pertanian dari pedalaman. Pelabuhan yang pernah berkembang di Sinjai adalah Larea-rea, terletak di daerah Lappa, dekat dengan muara Sungai Tangka. Sekarang menjadi pelabuhan kecil untuk penduduk menambatkan perahu ikannya.
Di bekas pelabuhan Larea-rea pemah ditemukan keramik asing Dinasti Qing, Ming Swato, Jepang, Swankalok dan Eropa. Selain itu ditemukan fragmen meriam yang pecah ketika digunakan (Sarjiyanto,2002).
Pelabuhan kecil lainnya yang menopang jalur perdagangan di Sinjai adalah Pelabuhan Tokinjong. Pelabuhan ini berada di Lingkungan Tokinjong, tak jauh dari lokasi berdirinya Benteng Balangnipa.
Kehadiran Benteng Balangnipa sebagai benteng pertahanan sekaligus pusat perekonomian tidak dapat ditempatkan secara terpisah dari sejarah perdagangan di wilayah Kepulauan Indonesia, khususnya Asia Tenggara dan Asia Timur pada umumnya. Hal itu didasarkan atas kenyataan bahwa kegiatan perdagangan berkaitan erat dengan interaksi antarmanusia ataupun kelompok dalam kegiatan tukar-menukar barang dan jasa, dan dalam waktu yang bersamaan terjadi interaksi sosial, budaya dan ekonomi yang kuat antara berbagai unsur tempatan dengan motif untuk menguasai perekonomian.
Sehingga ada beberapa kesimpulan dari uraian yang berkaitan dengan keberadaan Benteng Balangnipa. Pertama, kompleks benteng tidak terlalu luas sehingga hanya ada beberapa bangunan utama yang sederhana. Ini berhubungan dengan fungsi, tingkat kebutuhan ruang serta peranan benteng. Pembangunan benteng oleh Belanda terlihat lebih mempertimbangkan kepentingan ekonomi, seperti penampungan hasil bumi, dengan berusaha menguasai Kerajaan Bone, dan Teluk Bone yang strategis.
Kedua, rehabilitasi Benteng Balangnipa dan beberapa benteng bercorak kolonial di lain tempat tidak terlepas dari situasi politik global saat itu. Belanda mulai ikut campur tangan dalam bidang politik setelah berhasil memonopoli bidang ekonomi. Dalam bidang perdagangan, Belanda mulai menaruh perhatian pada potensi produk agraris, setelah sebelumnya berhasil menguasai wilayah pesisir dan beberapa daerah pedalaman.
Ketiga, Benteng Balangnipa dibangun sebagai basis pertahanan dan pengawasan lalu lintas dagang Belanda di wilayah Teluk Bone. Terbukti dengan upaya pendirian Loji atau Kantor Perwakilan Dagang di Lappa oleh Jenderal Hindia Belanda, Van Der Capellan. (*)