Penulis : Sudhas Rishal Sawil
Pekerjaan : Advokat
Bumi Manusia yang lebih dikenal sebagai periode penyemaian tetralogi Pulau Buru menyebutkan bahwa Mingke adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong ke-Jawaannya menuju manusia bebas dan merdeka.
Sedangkan Pram, adalah seorang yang berani membentuk sejarah dengan melawan kemapanannya, ia keluar dari guru pemerintahan lalu mendirikan sekolah Partikelir, sekolah dimana ia bisa menanamkan semangat kebangsaan dan semangat memiliki kepada anak-anak yang dipersiapkan untuk ‘sebuah bangsa yang akan lahir’.
Keduanya sama walaupun beda dalam dunianya
Perjalanan Mingke adalah simbol kegelisahan demi depa kegelisahan Pram. Sebuah kisah dari emosi Pram yang tak terbendung kemudian dituangkan secara teliti dan hati-hati. Ia amat menentang penindasan dan kekejaman, menentang feodalism dan kefasikan. Mingke bekerja secara fiksi dalam dunia Pram.
Tapi dari sisi lain, ia digambarkan sebagai Tirto Adhi Suerjo, seorang Bapak Pers Indonesia yang terlupakan oleh Sejarah.
Pram menceritakan bawah Pulau Buru adalah puncak dari anomali sejarah Indonesia, ia menceritakan bahwa negeri ini berdiri untuk mendapatkan kebebasan dan kemanusiaannya tapi Pulau Buru malah menjadi Rumah Besar pembantaian kemanusiaan, ribuan intelektual Indonesia ditahan di Pulau itu, dihinakan kemanusiaannya, dibuat seperti tak manusia.
Sisi Pram adalah dentaman ingatan tentang bau sepatu laras yang sangit. Rumahnya dirampas, perpustakaannya diobrak-abrik, banyak data-data penting hilang. Bahkan rupa gadis Pantai Jilid 2 dan Jilid 3 rimbanya belum diketahui. Pula ada 8 naskah yang belum terbit juga ikut disita.
Gerakan Untung 1965 adalah gerakan yang memang paling banyak melahirkan hal-hal aneh, orang-orang ditangkapi berdasarkan tuduhan kosong belaka, termasuk Pram.
“Saya ditangkap karena saya tak tau apa-apa” kata Pram menerawang kenangannya tentang masa paling gelap dalam hidupnya suatu ketika. Ia dibawa tentara ke dalam Penjara sebagai ‘tahanan kota’, ia dipukuli berkali-kali, telinganya dipopor sampai separuh tuli.
Tahun 1972, Pram dipindahkan ke Pulau Buru bersama kurang lebih 800 orang. Ia dipindahkan dari penjara sebelumnya di Lapas Nusa Kambangan.
Dari 800 itu nyaris tidak ada yang diproses di Pengadilan, termasuk Pram. Ia ditahan atas dugaan dan indikasi ikut bertaruh ideologi pada jilid Negara yang sedang hamil tua. Di dalam penjara, di Pulau Buru. Pram masuk dalam dimensinya sebagai manusia, menuliskan kisah-kisah.
Ia menyusun cerita panjang, sebuah cerita tentang terbentuknya masyarakat Indonesia lewat jalinan kisah Mingke, Nyai Ontosoroh dan Anneliese. Di dalam penjara ia harus bermain kucing-kucingan dengan penjaga. Menyembunyikan setiap tulisannya yang dicatatkan lewat karun semen dan pensil. Ia menuliskannya berulang kali sebab tulisannya beberapa kali ditemukan penjaga lalu dirobek.
Disinilah kesejatian Penulis dibentuk, dan sudah seharusnya penulis-penulis saat ini banyak-banyak menyelami kisah-kisah Pram agar tidak terlalu manja dan cengeng, yang sedikit-sedikit mengeluhkan tulisannya.
Kisah hidup Pram adalah kisah yang getir, ia mencurahkannya kepada August Hans dan Kees Snoeck yang mewawancarainya suatu ketika. Bahwa Pulau Buru adalah ambang batas penyiksaan manusia.
Banyak tapol ( tahanan politik ) memakan keong dan cumi-cumi mentah. Ada pula yang berpenyakit TBC dan ia melahap tikus kecil hidup-hidup justu malah menjadi sembuh dan kuat. Pram juga ikut memakan tikus dan ular tapi kulitnya malah pecah-pecah. Pram sepanjang orde baru nyaris menyerahkan semua hidupnya di dalam penjara. Menyaksikan adiknya ditangkapi, melihat teman-temannya dipukuli, ditendang dan bahkan dibunuh.
Cerita ini ia tuliskan dalam bukunya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, sebuah soliloquy atas kesaksian anak manusia tentang kekejaman bangsanya sendiri. Sebuah tulisan pembakar semangat anak-anak muda untuk menggulingkan tirani kekuasaan.
Beberapa kali Pram diajak bernegosiasi untuk keluar sebagai manusia baru, keluar tanpa membawa sisi nasionalismenya. Tapi ia menentang sebab ia tidak dibentuk menjadi pecundang.
Ia terus menyelami sisi gelap penjara dan menyusun aksara demi aksara untuk melahirkan setiap gagasan penting untuk Indonesia saat ini.
Pram menemui kemerdekaannya atas Pulau Buru yang kelam Pada tanggal 21 Desember 1979. Ia mendapatkan Surat pembebasan dengan dalih tidak bersalah dan tidak ikut dalam Gerakan G 30 S. Meskipun begitu ia tetap menjadi tahanan kota hingga tahun 1999.
Tahun 1981, karya-karyanya dihimpun. Kemudian diterbitkan. Tapi buku-bukunya dibredel dan dilarang untuk beredar. Lalu berbagai cara ditempuh penerbit untuk menerbitkan buah tangan pram secara sembunyi-sembunyi. Dan ini sangat laku, seolah buah pikir pram kembali membangunkan kesadaran bahwa bangsa ini tidak mungkin terus-terusan dikekang. Tetapi Orde Baru tidak pernah main-main, tahun 1980-an, dua mahasiswa asal Yogyakarta di tangkapi lalu dipenjarakan sebab kedapatan mendiskusikan dan menjual Buku-Buku Pram.
Pram adalah obor kegelapan sisi orde baru. Secara konstruktif ia berkarya membangun bangsa, ialah oase keteladanan atas kemaraunya sisi kemanusiaan saat ini. Anti hal-hal fragmatis, dan ia tidak beronani dengan jargon yang kolot untuk ikut melanggengkan sistem kekuasaan yang rusak. Ia bilang; “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku adalah Bumi Manusia dengan segala persoalannya”.
Dan memang kisah tentang ‘Bumi Manusia’ bukanlah kisah tentang maniak percintaan remaja semata. Tetapi Bumi Manusia membawa pesan tentang equality before the law. Narasi cinta terlarang atas tingkatan kedudukan sosial yang berseberangan dan itu harus dilawan. Kisah Pram adalah Kisah perlawanan. (*)
Referensi ;
Bumi Manusia (1980-1981)
Nyanyi sunyi seorang bisu. (1997)
Anton DH Nugrahanto ; Pramoedya Ananta Toer